Surat Untuk Suamiku
Dear Suamiku,
Jika bunda "pulang" duluan lalu kamu gak sanggup/gak bisa menyolatkan jenazahku, mintalah bantuan ke anak lelakimu, kakak, sepupuku, paman atau kerabat terdekat sebelum melempar tanggung jawab ke orang lain.
Begitupun urusan memandikan jasadku, memberi kata sambutan sohibul bait kepada pelayat, usahakan keluarga dekat dulu ya, jaga auratku dan kehormatan keluarga besar, jangan menampakkan ke permukaan jika SEANDAINYA kita punya konflik intern.
Angkat keranda bunda karena pahalanya sangat besar, setara dua gunung uhud milik kalian, itu janji Allah, juga tanda sayangnya kalian padaku. Bimbing anak lelakimu, pimpin dia untuk mendampingimu sampai di liang lahat. Jadilah yang terdepan melepas bunda ikut turun ke lubang kubur menyambut jasadku. Tahan sejenak lelah itu, tahan juga kesedihan, lupakan baju kotor ternoda tanah. Itulah tanda cinta sesungguhnya, penghormatan terakhir, bukan terus-terusan update status tanda berduka/kehilangan. Jangan posting apapun lagi, bahkan memajang foto-foto terakhirku saat telah menjadi mayyit di media sosial.
Bunda gak butuh itu.
Oya, gak perlu memaksakan tahlil dengan banyak tamu jika memberatkan, lebih baik sedekahkan harta untuk anak yatim dan duafa sesuai kemampuan.
Ikhlaskan kepergian Bunda, Qodarullah ... karena tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati. Tahan mulut untuk bicara seperlunya, sehingga orang lain tidak menganggap kalian tak benar-benar merasa kehilangan, cinta kalian palsu. Sebab, saat kehilangan seharusnya jangankan jari untuk mengetik layar, rasanya seluruh tulang sepeti tercabut dari raga. Lemas tiada tenaga. Pun otak tiada sempat berpikir banyak. Hampa ...
Tanyakan, adakah janji atau hutang yang belum tertunaikan? Sedekahkan semua barang pribadi bunda, jangan disisakan, agar hisab dan jalan bunda kian ringan. Tak perlu menyimpan apapun dengan alasan melankolis. Cukup selipkan doa untuk bunda di keseharian kalian. Ingat kebaikan-kebaikan bunda saja, wariskan ke anak cucu, maklumi keburukanku, simpan aibku, karena bunda hanya manusia biasa. Maafkan juga semua kekuranganku.
Janji ya, panjangkan sabar ... lanjutkan kehidupan sebagai sebaik-baik manusia. Berusaha terus bermanfaat bagi orang banyak sebab setiap kita hakekatnya juga tengah menanti giliran pulang.
Didik anak-anak sesuai dengan aturan yang Allah inginkan, bukan standarmu. Jadikan mereka manusia yang taat syariat, bukan penerus obsesimu.
Selalu bersandar pada Illah, sebab setiap hari adalah pertarungan antara amal baik dan buruk. Jangan kalah pada godaan setan dan dunia. Murah sekali hidup jika semua serba diukur dengan materi, tatapan kagum dan pujian manusia, atau apa-apa yang nampak saja. Pegang teguh sunnah, kejujuran sebagaimana tauladan Rasulullah, karena hidup dalam kepalsuan dan kebohongan itu melelahkan.
Jangan bertengkar karena dunia atau apa yang aku tinggalkan. Tapi justru rekatkan hati antar keluarga selepas kepergianku.
Semoga kita semua kelak bisa berkumpul kembali di jannahNya bersama Yayik, Nyaik dan keluarga besar yang lain. Bukan justru saling berbantah-bantahan di pengadilan yang paling tinggi. Aamiin.
Tolong ya Yah, inget selalu kata-kata Bunda.
*Kutulis ini buat pengingat kalian, sekalipun tiada yang tahu kapan ajalnya sampai.
No comments: