Selamat Jalan, Yayik ....
Terlahir dua saudara. Sekalipun anak bontot, sejak kecil saya dilatih mandiri, berani membuat keputusan, dan bertanggung jawab atas pilihan sendiri.
Abang saya memilih merantau jauh ke perbatasan Malaysia, tepatnya bekerja di Tarakan, Kalimantan.
Dibanding emak, saya anak kesayangan bapak. Sampai SMA saya masih lengket, kerap dipangku dan bermanja pada bapak. Berbeda dengan emak, di matanya saya justru anak pembangkang. Kerap mendebat dan beda pendapat. Itulah sebabnya, bagi saya bapak lebih asik diajak ngobrol dan bercanda. Beliau itu cenderung pendiam, keras mendidik anak lelaki, namun bisa lemah lembut pada putrinya.
Bapak purna tugas sebagai PNS sipil. Tapi sekalipun bukan tentara, lama bekerja dan berada di lingkungan TNI AD membuat dia memiliki kedisiplinan yang setara dengan bapak-bapak berseragam loreng. Sedikit banyak karakter sigap, tenang, dan on time saya adalah warisan dari didikan bapak.
Bangun menjelang subuh, sudah jadi kebiasaannya. Bahkan itu yang membuat parameter saya mengetahui beliau gak baik-baik saja saat azan subuh Selasa, 15 Maret jendela kamarnya belum terbuka.
5 hari membersamai bapak di ruang isolasi RS Urip Sumoharjo was precious time yang tak terlupakan. Sekalipun kehilangan kesempatan mentalqin beliau, sebab saat dipindah ke ruang ICU bapak sudah tidak boleh ditunggui lagi. Terakhir saya hanya bisa menatap jenazahnya dari balik kaca. Tubuh ringkih 75 tahun itu akhirnya dinyatakan kalah berperang melawan keganasan Virus Covid-19 varian Omicron.
Sedikit bernostalgia, saat remaja, saja pernah memecahkan kaca meja ruang tamu, beliau gak marah. Hanya bilang, "Uang jajan kamu dipotong selama sebulan." Yup, dia tengah mengajarkan arti sebuah tanggung jawab dan konsekuensi dari perbuatan.
Saya masih ingat ketika hendak menikah, beberapa malam bapak hampir gak tidur ikut sibuk menyiapkan acara. Lalu seminggu setelah menikah, saya langsung move to Palembang karena suami bertugas di sana, tatapan matanya seolah bicara, berat melepas anak perempuan satu-satunya. Namun saya mengerti, ia tak berdaya menghalangi, karena biar bagaimana pun sadar tanggung jawabnya sudah beralih pada sang menantu.
Pun ketika kembali ke Bandar Lampung hanya untuk pamit lagi dan pindah ke Jakarta, seterusnya selang berapa tahun makin jauh ke Batam. Akhirnya, suatu waktu Bapak gak kuat dan curhat ke emak, kalau dia sebenarnya gak mau saya jauh darinya. ðŸ˜
2017 pasca operasi jantung, melihat kesehatan bapak dan emak yang kian menurun, saya memutuskan membawa anak-anak kembali ke tanah kelahiran. Meminta izin dan ridho suami untuk menjalani Long Distance Relationship. Alhamdulillah suami mengizinkan, dan mengalah sekalipun harus PP sebulan sekali rute Jakarta-Bandar Lampung untuk melepas rindu.
Jika dihitung mundur, menjaga mereka hanya sebentar, 23 Mei 2020, emak duluan berpulang. Selang dua tahun, yakni minggu lalu, bapak menyusul. Kurang lebih 5 tahun saja fokus kebersamaan kami di hari tuanya ðŸ˜
Teman-teman bilang saya beruntung. Bisa melepas keduanya dan mendampingi orang tua hingga batas waktu. Sekalipun sebagai pribadi tetap ada banyak hal yang membuat saya merasa tak cukup berjuang dan mempersembahkan yang terbaik bagi keduanya.
Semoga Allah mengampunkan dosa-dosa dan membebaskan bapak dan emak dari siksa kubur. Aamiin. Tenanglah di sana orang tuaku tercinta. Semoga kelak Allah mempertemukan kita di Jannah.
Bismillah, saatnya menata hidup ke depan. Tugas kembali ke sisi suami kian bergaung kencang. Depok di pelupuk mata, sekalipun mungkin tidak dalam waktu dekat mengingat adek masih kelas 5 dan adin baru kelas 1 SMP. Lagipula perlu plan dan dana yang tidak sedikit untuk proses kepindahan kami.
Al fatihah ... Summa illa ruh illa arwah MS. Muchtar bin Chairuddin Said dan Mas Sejati binti abdul Hamid.
Jazakallah buat suami tercinta Ferdian Putra Aryanu yang sudah sangat-sangat bersabar mendampingi, mengerti dan meridhoi segala keputusan "bersama". Peluk.
🥰
No comments: