Antologi "How I met My Husband"
Masih ingat pertamakali bertemu dengan pasangan hidup?
Tentu bikin tersenyum ya jika kita mengingatnya kembali. Berikut salah satu kisahnya yang diambil dari salah satu buku berjudul How I meet My Husband ... Ditulis oleh puluhan penulis perempuan yang tergabung dalam Komunitas Mari Menulis,
Jodoh Tak Perlu dikejar
Sebuah
nasehat bijak tertulis dalam novel religi yang tengah kubaca, “Jodoh akan
selalu menemukan jalan menuju tulang rusuknya.
Tidak perduli seberapa jauh hati dan jarak terbentang. Di sana kuasa Allah bicara, bahwa sejatinya
manusia hanya bisa berikhtiar sebatas yang ia mampu asalkan tidak melanggar
syariat.”
Ikhtiar
sesuai syariat. Sebuah kalimat yang
menggelitik dan ingin kugarisbawahi. Cukup
langka penulis menyertakan kalimat pengingat itu, sehinga tak jarang di
kehidupan ini mereka yang muda dan tengah kasmaran melanggar batas norma atas
nama cinta. Dan kuharap aku tidak termasuk salah satunya. Beberapakali aku harus menelan kecewa ketika
diam-diam menyimpan asa pada pria yang kubidik memiliki probabilitas bagus
sebagai imam hidupku di masa depan. Namun
semuanya kandas sebab aku tak cukup bisa bersaing dengan gadis yang lebih luwes
sikap manja, merayu, dan haus perhatian.
Aku adalah Alya, yang selalu berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya,
demi menjaga hatiku sendiri juga menjaga marwah diri.
Hari
itu aku melihat pria itu lagi dan wanitanya menaiki roda empat sebelum melepas
genggaman dalam binar mata yang saling memuja dari lantai dua bangunan kantor.
Aku mendecih sebal. “Kalau memang dia pria baik dan soleh, tidak akan mudah
jatuh pada kemilau ragawi. Juga mengerti adab di mana pun kakinya berpijak” Bisikku
menghibur diri saat menyadari tak pernah menjadi kandidat pendamping di mata
lelaki yang kupuja. Lagipula, lelaki yang
baik akan menjaga wanitanya, bukan sembarangan menjamah dan membawanya pergi
berduaan sebelum ikatan halal bahkan tanpa sepengetahuan orangtuanya. Salahkah aku berprinsip begitu sekalipun
dunia disesaki perilaku umum yang menyimpang namun sudah dianggap sangat biasa?
“Usiamu
sudah 27 tahun, setidaknya belajarlah membuka hati.” Kata Bapak dalam
perbincangan malam itu. Pria panutanku itu tahu betul aku pernah kecewa sebab
memendam asa kepada seseorang yang ternyata kemudian berlabuh hati pada
sahabatku sendiri. Namun ia mungkin tak
tahu jikalau hatiku sudah lama move on dan mulai menyukai orang
lain. Teman sekantorku.
Aku
memilih bungkam tak menyahut sepatah kata pun.
“Ada
kerabat jauh yang ingin anaknya mengenalmu,” Sejenak aku menarik napas pelan,
mencoba menerka arah perbincangan ini.
“Terserah,
tidak ada salahnya mencoba kan?” jawabku pelan. Mungkin memilih taat pada orang
tua akan berbuah kebahagiaan, pikirku.
“Bapak
akan telepon ayahnya.” Lengan itu kemudian menyambar gawai di atas meja lalu
berbincang dengan seseorang di seberang sana.
“Hari
minggu saat kamu libur siaran, apa bisa anaknya datang ke rumah? setidaknya
untuk perkenalan.” ucapnya hati-hati.
Aku
hanya mengangguk pasrah.
***
Pria
itu datang dengan pakaian rapi dan aroma mint yang segar terhidu. Perawakannya sedang, kulit putih dengan wajah
bersih. Cukup tampan menurutku. Perbincangan dua arah mulai mengalir
pelan. Aku mencoba mengeja isi kepalanya
dalam setiap kata yang terucap. Sayangnya,
lebih banyak kalimat perintah sekalipun dikemas dalam nada yang sangat sopan.
Sangat percaya diri sekali seolah aku pasti menerima perjodohan ini.
“Jika
menjadi istriku, bisakah kamu tidak bekerja lagi?” “Bisakah kamu tidak menerima
telepon dari pria sekalipun teman kantormu karena aku ini pencemburu. Mau kah
kamu menurutiku … begini dan begitu?” Entahlah kalimat-kalimat lain seolah
menghilang hingga aku tak mengingatnya satupersatu. Berganti berbagai
kekhawatiran melintas dan berkecamuk di dalam benak. Bagi sebagian orang aku ini memang kolot,
idealis bahkan dicibir fanatik. Akan
tetapi sebagai perempuan aku mendambakan rumah tangga yang hangat, dalam
balutan komunikasi dua arah antarpasangan, saling mengerti tanpa mengekang satu
sama lain. Bagiku, jikalau kedua belah pihak paham peran dan tanggung jawab
masing-masing dalam rumah tangga, maka tidak akan ada celah ketidakpercayaan menyelinap.
Aku menghela napas dalam-dalam. Ah, pertemuan
pertama saja sudah seperti ini, bagaimana jika menghabiskan seluruh hidupku
dengannya? Bukankah pernikahan adalah
ibadah sepanjang hayat? Kurasa aku takkan sanggup.
“Bagaimana?”
Cecar ayah.
Aku
menggeleng lemah. “Aku memilih mundur, kami
tidak akan bisa sejalan”
Kali
ini kulihat guratan kecewa tidak hanya timbul di kening bapak, tapi juga ibu. “Susah
kalau berhadapan dengan orang yang terlalu pemilih.” Gerutu ibu.
Aku
hanya terdiam, tak kuasa menanggapi.
***
Kartu
undangan bernuansa ungu dengan pita keemasan kutatap lekat dengan pandangan
datar. Teman kantor pujaanku sudah
menetapkan hati memilih wanita itu. Aku
hanya bisa tersenyum pahit sambil mendoakan kebahagiannya dalam kesunyian. Entah akan hadir atau tidak, itu urusan
nanti, yang jelas aku butuh waktu untuk mengikhlaskan apa yang bukan
ditakdirkan menjadi milikku.
Bagaimana kelanjutannya? Penasaran?! selengkapnya bisa kalian baca di buku itu. Untuk pemesanan klik bit.ly/chat-mega1
No comments: