Antologi "Bahagia Bersama Al Quran"
Tekad Bebas Riba Berbuah Manis
Pernahkah kamu merasa hidupmu stuck, seolah diam
di tempat? Bertahun-tahun hidup berjalan tanpa perubahan berarti? Tidak hanya
berkaitan dengan masalah dunia dan kebendaan melainkan juga urusan ruhiyah?
Beberapa tahun lalu saya merasakannya dan perasaan itu dari hari ke hari kian
menyesakkan dada.
Saya adalah seorang istri yang tengah mendampingi suami dan
telah membangun istana sendiri nun jauh di pulau Batam. Jauh dari orang tua dan
tanah kelahiran. Sebagai bungsu dari dua bersaudara, juga satu-satunya anak
perempuan di rumah, merantau pasca menikah mungkin berat. Namun, begitulah
takdir yang telah digoreskan atas seorang hamba bernama Wafa Khairunissa.
Qadarullah telah jatuh, maka sebagai mukmin saya harus menerima ketetapan Allah
dengan ikhlas. Seiring waktu, setiap rumah tangga pasti memiliki keinginan dan
tujuan. Begitu pula awal terdamparnya kami di Pulau ini.
Hampir 4 tahun
berjalan, rumah yang kami idam-idamkan seolah jauh dari kata rampung. Sejak anak
pertama berumur 3 tahun, tepatnya 6 tahun yang lalu, kami memutuskan mengambil
KPR rumah bertipe 36 di daerah Depok, Jawa Barat. Jauh sebelum hijrah kami ke
pulau yang berbatasan dengan negara Singapura. Saat ditinggalkan, renovasinya
belum rampung. Rencananya rumah akan ditingkatkan menjadi dua lantai. Namun
sayangnya, baru separuh jalan, kami kehabisan amunisi. Sebab ternyata membangun
rumah itu tidak mudah, ada banyak dana tak terduga yang kadangkala muncul
sebagai ujian kesabaran. Kami pikir menerima tawaran pekerjaan di tempat tinggal
nun jauh di Batam, akan membuat perekonomian keluarga membaik. Harapannya,
cicilan rumah sekaligus pembangunannya dapat dengan mudah terselesaikan tanpa
kendala. Tetapi kenyataannya, nyaris empat tahun berjibaku dengan peluh, tidak
ada kemajuan sama sekali dalam hal pembangunan. Kami harus puas dengan keadaan.
Diri kerap merenung panjang di sepertiga akhir malam. Apa yang salah? Sudah
jauh-jauh merantau dan bertekad banting tulang, namun rezeki seolah menjauh.
Jangankan melanjutkan pembangunan, untuk makan sehari-hari saja kami harus hidup
pas-pasan, namun setidaknya angsuran utang masih bisa tertutupi tepat waktu.
Suatu waktu sebuah majelis ilmu yang kudatangi tengah membahas masalah riba.
Sebuah ayat menyentil kalbu., pada Surat Al-Baqarah 275. “Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” Dilanjutkan dengan ayat, “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum
dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman.” Surat Al-Baqarah 278. Sepanjang
waktu saya meresapinya. Mungkinkah kesulitan yang kami alami akibat utang riba
yang ancamannya diperangi Allah dan Rasulullah langsung di yaumil akhir? Sontak,
inderaku merinding. Sepertinya saya menemukan akar permasalahan yang menimpa
keluarga.
Diam-diam saya juga mulai meluangkan waktu khusus untuk belajar
tentang dosa riba di sebuah kajian online. Ustadz/ustadzahnya insyaAllah hanif
yang akan dengan tegas menyatakan halal dan haram berdasarkan ijtihad ulama,
bukan berdasarkan perasaannya ataupun pesanan dunia. Dalil-dalil tegas seputar
dosa ini dibedah, dan membuat hati bergetar. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
275. “Orang-orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannya, lalu terus
berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambil terdahulu
sebelum larangan datang dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali
mengambil riba, maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka yang kekal di
dalamnya.” Sungguh mengerikan mengingat seriusnya ancaman itu. Tanya jawab pun
terus bergulir untuk menuntaskan kegalauan yang dirasa.
Masalah lain timbul,
perkerjaan suami adalah seorang pengawas proyek konstruksi pada sebuah
developer. Namun masalahnya, karena kantor ini belum perusahaan berskala
nasional, suami terkadang dimintai tolong ikut menjual property yang dibangun.
Tak jarang satu dua pembeli akan membayar dengan cara mengangsur layaknya rumah
yang kami beli di Depok, yakni secara leasing. Selain itu, perusahaan tempat
kami bernaung merupakan join dua belah keluarga yang modal utamanya di dapat
dari hutang bank. Rasanya lengkap sudah, kami seperti terjebak dalam lingkaran
setan. Qadarullah, secara kebetulan belakangan perusahaan mulai mengalami
kegoncangan keuangan. Saya dan suami kerap mendiskusikannya di kala senggang.
Manusia tidak pernah bisa menyimpulkan secara pasti, namun yang tengah kami alami
seolah-olah memperlihatkan satu persatu janji Allah adalah pasti. Tidaklah
seseorang itu memperbanyak harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah
kekurangan/kemiskinan. (HR. Ibnu Majah).
Masalah kami tak ubahnya seperti
mengurai benang kusut. Sesuai perenungan bersama, ditambah melihat situasi yang
berkembang di kanto., Langkah awal pun kami ambil. Suami memilih resign dan
kembali bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Sekalipun bidangnya sama,
setidaknya di perusahaan itu suami murni bekerja sebagai pengawas proyek, sama
sekali tidak bersinggungan dengan bidang marketing apalagi pihak bank. Langkah
kedua, untuk rumah di Depok satu-satunya jalan adalah melepaskan kewajiban yang
melekat. Banyak masukan datang dari sahabat dan komunitas bebas riba untuk
bernegosiasi kepada pihak bank pemberi KPR, agar hanya sisa pokoknya saya yang
kami bayarkan. Semangat saya berkobar, sangat optimis mengingat angsuran rumah
itu sudah setengah jalan, yakni 7 tahun dari total 15 tahun rencana pelunasan.
Namun, kenyataan tak sesuai ekpektasi, permintaan keringanan kami ditolak
mentah-mentah. Bahkan lucunya, kami diingatkan jika melakukan pelunasan lebih
cepat, biaya penalti tetap berlaku. Di sinilah saya benar-benar muak berurusan
dengan para rentenir berdasi. Hendak melunasi lebih cepat kok tetap saja
dikenakan biaya tambahan sebagai ganti rugi melanggar perjanjian utang-piutang.
Menggelikan bukan?
Saya tidak bisa mengeluh secara lisan, sebab semua itu
tertulis dalam surat perjanjian. Bodohnya saya sebagai manusia, terkadang abai
dan menyepelekan segala urusan. Nasi sudah menjadi bubur, setelah mencoba
menghitung bersama sisa utang, 90 juta plus penalti, tentu bukan angka yang
kecil. Jangankan untuk itu, dana darurat rumah tangga saja kami tak punya kala
itu. Miris sekali. Sempat ada bisik-bisik teman yang mengerti masalah ini untuk
menjual asset. Maksudnya menjual rumah yang akhirnya kami tempati lagi, agar
utang bisa terselesaikan dengan cepat. Masalahnya itu tidak akan saya lakukan,
sebab akan menimbulkan polemik yang lain. Kondisinya rumah itu tidak hanya
ditempati oleh keluarga kecil saya, tetapi juga ibu mertua dan adik suami ikut
tinggal di sana. Untuk masalah ini, kami seperti menemukan jalan buntu.
Berbulan-bulan hanya bisa pasrah pada kenyataan dan membayar angsuran tepat
waktu. Hanya saja, kami berdua tetap sepakat bertekad keluar dari masalah ini.
Entah bagaimana caranya, bukankah Allah Maha Kaya?
Dua tahun bekerja di Jakarta,
perkembangan karir suami lumayan pesat, proyek lancar, bahkan bisa menyisihkan
sebagian dana untuk mendirikan sebuah usaha konsultan kecil-kecilan bersama
beberapa sahabatnya. Pundi-pundi uang yang kami sepakati sebagai simpanan untuk
mempercepat pelunasan rumah pun bertambah banyak mendekati target. Beberapa kali
tunjangan hari raya pun kami simpan, melupakan keinginan dunia dan gegap gempita
lebaran, demi terbebas dari belenggu utang. Finally, we did it, suatu hari
telepon berdering, suami memberikan kejutan … mengabarkan tengah berada di bank
untuk melepaskan beban yang selama ini mengimpit. Tak lama pesan lewat whatsapp
pun masuk, dokumentasi surat-surat pelunasan rumah. Masha Allah, hari itu
mungkin menjadi momentum paling bersejarah sekaligus membahagiakan dalam hidup
kami. Sujud syukur dan tasbih sepanjang hari terucap dari bibir, sungguh tak
menyangka Allah begitu baik mendengarkan doa-doa kami. Hanya berselang dua tahun
sejak kepindahan kami dari Batam, masalah terakhir terselesaikan. Sejak hari
itu, kami benar-benar meninggalkan segala sesuatu yang berpotensi riba.
Kenikmatan dari bebas RIBA tidak hanya berhenti sampai di sana.
Selepas azzam
berusaha melepaskan diri dari jeratan utang bunga berbunga, rumah tangga kami
seperti mendapatkan banyak bonus kehidupan. Lagi-lagi manisnya janji Allah kami
rasakan. Sebagaimana hadist dari Abu Hurairah Rasullah SAW. bersabda, “Allah
taala berfirman; Barangisiapa bertekad meninggalkan keburukan karenaKu maka
catatlah satu kebaikan untuknya. Jika ia bertekad melakukan kebaikan tersebut,
maka catatlah baginya sepuluh kebaikan yang semisal hingga 700 kali lipat.”
(Hadist RiwayatHR. Bukhari dan Muslim) Tidak hanya ketengan kalbu yang dirasakan
sebagai imbas terbebasnya kami dari belenggu hutang. Banyak bonus penyerta yang
berlimpah datang dari arah tak terduga. Hanya selang beberapa bulan, kembali
rezeki menghampiri. Saya dan suami akhirnya kembali sepakat menggunakan nikmat
itu untuk terus bersyukur padaNya dalam bentuk ibadah rukun islam ke lima yakni,
mendaftarkan ke Baitullah. Sisanya, kami masih bisa membeli kendaraan roda empat
walau second condition.
Masha Allah, untuk urusan ke Tanah Suci, sekalipun
perkiraan keberangkatan masih belasan tahun lagi, setidaknya sudah terniatkan
dan bukan lagi sebatas angan. Padahal saya dan suami mengira, jika menggunakan
hitungan di atas kertas berdasarkan sisa gaji perbulan rata-rata, kemungkinan
itu baru bisa terselenggara beberapa tahun ke depan. Sedangkan untuk keinginan
memiliki mobil impian. Keluarga mana yang tak mau? Tapi kami cukup tahu diri,
tidak ingin serakah. Cukup terniatkan pelan-pelan saja dengan tekad tetap
menjalankan pola hidup sederhana, selepas melunasi pembayaran ke Baitullah.
Wallahi, siapa sangka, semua doa diijabah bagai tiada penghalang. Semua kami
anggap sebagai keajaiban janji illahi. Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.
********
Ini hanyalah salah satu dari puluhan cerita yang ditulis para penulis hebat yang memiliki pengalaman berharga yang bermuara pada makin dekatnya mereka kepada Allah, melalui kalamNya dalam Al-Quran.
Pemesanan : bit.ly/chat-mega1
No comments: