Perpisahan
Masih terbayang di pelupuk mata, malam itu ia minta dibalurkan balsem dan dipijat punggungnya sambil mengobrol santai. Dalam hati kecilku sudah menebakapakahinidetik-detikterakhirbersamanya? Namun sisi manusiawiku berteriak menyangkal, meyakinkan diri kalau ia akan baik-baik saja. Apalagi aku dan suami bertekad akan membawanya ke rumah sakit esok pagi.
Jari-jariku pelan menyusuri punggungnya yang lebar, andai kutahu itulah saat-saat terakhirku bersamanya tentu aku tak keberatan melakukannya sampai pagi, tanpa mengeluh. Aku anak perempuannya yang mampu melepas emak pergi. Sementara lelaki sulung semata wayangnya nun jauh di seberang pulau. “Nyak kilui kerelaanmu, mahap lamen nayah olahku say lebih korang atau mak berkenan di hati. 86 “ lirihnya pelan dengan napas tersengal.
Kupeluk dia dari belakang dengan segenap sayang, air mata mulai menetes perlahan tak mampu lagi kubendung. Sambil terisak aku berbisik, "maafin juga kesalahanku ya, Mak jika selama ini banyak sikapku yang membuat hati emak nggak berkenan."
Bahunya yang kian membungkuk sedikit berguncang, ia berujar pelan, “terimokasih niku kak bersedia nengani nyak sampai tanow.87”
Aku terdiam di belakang punggungnya tanpa mampu bersuara sepatah katapun. Hanya jari-jariku yang terus merayapi punggungnya dengan penuh kasih. Namun tak bisa dipungkiri sudut hatiku terus berkecamuk. Entahlah, mungkin itu yang disebut firasat. Namun lagi-lagi sisi hatiku yang lain
menentangdanbersuaralantang,emakbaik-baiksaja ia akan kembali tertawa esok. Apalagi tak sampai dua hari lagi seluruh umat islam merayakan hari kemenangan.
“Rendang, kue-kue sudah kupersiapkan semua, lebaran sekalipun pandemi nanti pasti banyak kerabat yang mengunjungi emak, emak pasti senang.” Ucapku seolah memberi laporan berusaha menghibur dan mengalihkan pembicaraan.
Akumemintakerelaanmu,maafjikabanyakperbuatankuyangtakberkenandihati87 Terima kasih, kamu sudah bersedia mengurusiku sampai detik ini
Hening. Ia tak menjawab sepatah katapun.
“kak mu temen mak dapok mulang?88 ” tanyanya seolah meminta kepastian. Kujawab dengan nada penuh penyesalan, “tak ada penerbangan, Mak, semua angkutan umum dan lintas provinsi juga tidak jalan sebab lock down. Yan saja untung-untungan bisa menyeberang.”
Ia mengangguk mencoba mengerti. Kemudan mengetuk dada dan telinganya pelan sebanyak tiga kali. Aku tahu itu sebuah kebiasaannya yang hanya kusendiri yang paham selama ini. Mungkin saja saat ia tengah mendengar sesuatu yang tak terjangkau telingaku.
“Apa yang emak dengar?” tanyaku hati-hati.
“Nggak ada. Hanya tiba-tiba ingat Ari, Beni dan Rolly mudah-mudahan besok mereka datang.” Ujarnya pelan. Itu ketiga nama keponakanku yang kerap menyambangi rumah akhir-akhir ini.
“Alamkabirkaknenggudiluah...89”Akunyapelan sambil mencoba menegakkan kepala seolah melihat ke arah pintu.
Aku tersenyum miris menyembunyikan isak yang nyaris meledak. Wanita kesayanganku itu lalu menepuk lenganku pelan sambil berbisik, “Adew,
Abangmu benar tidak bisa pulang?
Alam kabir(kakaknya) sudah menunggudiluar
Niku balik gawoh mak bangik jamow lakimu sai ampai mulang Metei kak sako mak tembuk.90 "
Aku menarik nafas pelan, dengan ragu mematuhinya beringsut turun dari dipan jatinya yang kokoh hendak kembali ke rumah sebelah, tempatku selama ini bernaung. Sebelum kututup pintu kamarnya kudengar lamat-lamat ia berzikir lirih.
"Tandak!91 " Katanya lagi sambil mengibaskan tangan saat melihatku masih terdiam di depan pintu kamarnya.
Emak ... Wanita bersuara powerful, well prepare, detil dan selalu saja pantang menjadi beban, memilih pergi dalam sepi dini hari. Kami mendapatinya terbujur kaku dengan wajah terpejam damai saat hendak membangunkannya untuk sahur terakhir di ramadan.
Rasanya aku ingin menjerit memaki diri sendiri yang telah meninggalkannya sendiri tanpa perlawanan. Andai berguna, rasanya aku juga ingin membenturkan kepala yang begitu dungu tidak mengatakan apapun kepada bapak atau siapapun, agar setidaknya ada yang mendampingi emak saat menghembuskan nafas terakhir.
Sudah,kamupulangsajatakenakdengansuamimuyangbarupulangkaliansudahlamatak91Pergi!
Beribu maaf dan penyesalan kudengungkan dalam hati. Sayangnya, tidak ada satu orang pun yang dapatmendengarnya.
***
“Apa ibu selama ini punya stroke atau penyakit jantung?” tanya sang ustadz yang aku sendiri tak ingat namanya saat mencoba melemaskan otot-otot emak yang terlanjur kaku. Ia salah satu kenalan kerabat yang datang saat kubilang jenasah emak sudah kaku. Aku khawatir akan menemui kesulitan jika hendak memandikannya. Tangan emak menjuntai lurus di samping tubuh dengan genggaman kuat, sementara bibirnya mengatup dengan mata terpejam. Tidak ada yang tahu pasti detik-detiksakaratulmautmenjemputnyasebabsejak sering sakit-sakitan bapak memilih tidur terpisah kamar dengan alasan tubuh emak yang besar butuh ruang agar lebihleluasa.
Azan subuh sebentar lagi berkumandang.
Aku menggeleng pelan. Seingatku memang emak tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Selama ini ia hanya bermasalah pada kolesterol, obesitas dan maag akut. Kalau stroke aku juga nggak yakin, sebab semalam baik suara atau ucapannya masih sangat jelas terdengar.
“Anggap saja mungkin sakaratul maut yang begitu kuat, menyebabkan jantungnya mendadak berhenti.” Ujarnya lagi.
Aku menyedot ingus menahan isak yang hampir keluar. Wajah itu telah menutup mata untuk selamanya. Kuusap pipinya yang dingin dengan segenap rasa sayang. Aku begitu sedih membayangkan perasaannya saat memilih pergi dalam kesendirian. Rasa sesal terus menyeruak, kenapa diri tak peka dan bersikerasmendampinginya sampai akhir. Aku telah kehilangan momen berharga, kesempatan men-talqin emak sampai nafas terakhir. Sungguh, aku merasa seperti anak tak berbakti.
Mata sang ustadz melirikku sekilas seolah mengerti apa yang kupikirkan, “Dia memilih pergi diam-diam, mungkin tak ingin kamu melihat kesakitannya. Atau mungkin ia sendiri yang takkan sanggup mendengar tangismu yang tak ikhlas meratapi kepergiannya.” []
*Tulisan ini ada di buku "Seraut Wajah Emak" dan merupakan chapter yabg paling menguras air mata.
Untuk pemesanan bit.ly/chat-mega1
No comments: