Yang Telah Pergi
Wanita di ambang senja itu memandang sayu seraya menggenggam erat jemari pria yang terbaring lemah di hadapannya.
"Saatnya sudah tiba ...," bisik sang lelaki dengan kerutan yang memenuhi dahinya. Entah itu ekspresi mewakili rasa sakit atau menahan kesedihan dalam sempitnya waktu yang tersisa.
Bulir-bulir bening menetes dari kedua kelopak yang sesekali mengerjap. Ada getar keresahan yang menyelinap dan memainkan perasaannya. "Apa yang membuatmu begitu setia dan terus bertahan pada seorang istri pembangkang sepertiku?"
"Karena cinta itu penerimaan dan pemakluman, tugasku meluruskan kebengkokanmu sampai nafas tercerabut dari raga." Jawabnya pelan dalam nafas yang hampir hilang.
Helaan panjang terembus dari bibir keriput yang warnanya tak lagi merah merekah.
"Berjanjilah kamu akan bertahan, Bu, entah aku ada ataupun tiada." Bisik lelaki itu lagi.
Si wanita mengangguk pelan seraya berucap pelan, "tunggu aku, Yah."
Tak lama, genggaman itu semakin melemah dan akhirnya kehilangan daya.
Perempuan tua itupun terisak dalam pedihnya perpisahan. Sungguh melepas apa yang kita pikir semestinya milik diri tidaklah mudah.
Siapapun tahu tiap-tiap diri akan mendapatkan gilirannya. Sekalipun sang waktu tak pernah dinantikan. Masa itu niscaya kan datang walau tanpa diundang.
***
Wanita itu menatap puluhan koper yang sudah berjejer rapi di depan masing-masing pintu kamar.
Belum genap tiga hari suami tercintanya berpulang.
"Saya dan keluarga akan tiba 3 jam ke depan, tolong siapkan kendaraan penjemputan di Bandara," suara si sulung, Ahmad menginstruksi bawahannya melalui benda tipis yang menempel di telinga.
Wanita tua itu memandangnya penuh harap dengan lengan yang hendak menggapai. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan, namun tak bisa.
Di sudut yang lain anak kedua, Regina tengah duduk dengan gelisah memandang tak sabar keluar jendela memperhatikan sang suami dari yang tengah memberi instruksi pada Mbok Darmi, pelayan kesayangan.
Perempuan itu mengerjap menahan butiran kristal yang mengaburkan pandangan. Menahan segenap perasaan yang mendesak. Teringat dulu ketika ia menikah, ayah ibunya pun tak di bawanya serta. Tapi itu bukan salahnya, itu pilihan mereka. Sampai di akhir hayat, kedua orangtuanya lebih memilih menghabiskan waktu bersama di kampung halaman.
Tetapi ini berbeda dengan dirinya.
Kenapa tak satupun dari anak-anaknya menanyakan keinginannya? Semua sepakat, seolah faham betul apa yang terbaik untuk ibunya?
Tatap mata Wanita itu beralih pada si bungsu, Sarah yang sibuk dengan gadgetnya.
"Jangan sedih, Bu. Kami akan mengunjungi Ibu sesering mungkin. Ibu tidak akan kesepian. Lagipula mas Ahmad sudah menyiapkan segalanya." Ucapnya pelan tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel yang menyala.
Sarah mungkin benar si sulungnya yang penuh tanggung jawab sudah mengatur segalanya. Soal menanggung makan seorang wanita tua sehari-hari untuk ketiga anak yang sudah sukses dengan berbagai peran dalam kehidupan, tentu bukan hal yang sulit. Walau sebenarnya, tanpa mereka pun kehidupan sang ibu yang memiliki usaha butik dengan puluhan cabang di berbagai kota di nusantara sudah lebih dari kecukupan.
Sayangnya, bukan hanya sekedar bertahan dan memiliki asisten rumah tangga yang ia dambakan di usia senjanya, melainkan menjalani sisa hari di tengah-tengah keluarga ... itu impiannya.
Wanita tua itu menunduk dalam kepedihan yang tak pernah terungkapkan.
***
"Dua butik saja, ibu sudah keteteran, apalagi nambah cabang." Tatap mata pria itu terlihat sayu.
Senyum kecil merekah di sudut bibir sang istri, "kan bukan murni ibu yang menjalankan Yah, apalah gunanya karyawan?"
Ujung jemarinya bergerak pelan seolah menyisiri rambut kekasih hatinya, "i knew you my dear, teorinya begitu. Prakteknya? kamu tak pandai mendelegasikam wewenang. Melihat watakmu yang sulit mempercayai seseorang dalam menangani pekerjaan, yang ada jika masalah datang semua waktu dan energimu akan terkuras mengurusi usaha. Kapan waktunya anak-anak mendapatkan perhatian ibunya?"
"Kan ada kamu. Lagipula, aku kan melakukannya untuk masa depan mereka juga," tatapannya berubah tajam menembus jantung sang suami.
Pria itu menurunkan lengan, tertunduk dalam seraya menghela nafas pelan, "maafkan aku, sebab tak bisa memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik untuk kalian bahkan membuatmu menjadi tulang punggung keluarga ... "
"Penderita diabetes akut, sudah seharusnya tidak terlampau banyak aktivitas fisik, Yah. Tak mengapa usaha konveksi ayah berjalan apa adanya, hidup kita akan lebih tercukupkan melalui butik-butikku."
Tatap mata itu beralih jauh ke luar jendela. "Meski begitu, peran kita seperti tertukar." Senyumnya terulas namun terlihat getir.
Sang istri mendekatkan wajahnya dan mengecup pelan sebelah pipi suaminya "Kita jalani saja takdir yang telah digariskan Allah."
Pria itu mengangguk lemah. "Kalau boleh aku meminta, semoga Allah tidak memanjangkan usiaku ...," lirihnya.
Sinar mata sang istri berubah meredup. "seorang muslim, tidak boleh berdoa yang demikian."
"Bukan, bukan maksudku tak mensyukuri nikmat kehidupan. Aku hanya tidak ingin menjadi beban kalian. Jikalau nanti anak-anak telah menikah, semoga Allah tidak terlalu lama memberikan bonus kehidupan untukku. Aku hanya ingin cepat kembali karena khawatir keberadaanku justru menghambat cita-cita besar anak-anak. Sementara kamu sebagai ibu, kurasa lebih mampu mengiringi langkah panjang mereka."
"Tapi, bagaimana dengan aku? Bila Ayah pergi, siapa imamku?"
"Allah sebaik-baik penjaga, semoga Allah mempertemukanmu dengan lelaki yang jauh lebih baik sebagaimana Zainab binti Jahsy mendapatkan pria semulia Muhammad, selepas berpisah dengan Zaid bin Haritsah."
"Tapi Zaid dan Zainab berpisah karena perceraian, Yah, bukan maut yang memisahkan mereka."
"Apa bedanya? Berpisah di dunia maupun ajal bagiku sama saja jodoh mereka hanya ditakdirkan selesai di sana"
Istrinya menggeleng pelan, "tidak ... tidaklah sama, pernikahan yang dipisahkan oleh maut, bisa kembali dipersatukan di kehidupan yang kekal"
Suaminya tertawa lirih, "kamu yakin?"
"Maksudmu? Apakah ini berarti Ayah tak menginginkan diriku menjadi penghulu bidadari syurgamu?"
"Bukan begitu ... maksudku ... Ah, entahlah, karena aku pun tak yakin selamat dari hisabNya. Sebab, aku mungkin saja gagal mengemban tugas terberat sebagai suami. Menjauhkan kalian dari api neraka."
Wanita itu menatap dalam kebingungan.
***
Ada yang sesak yang mengendap di dalam dadanya. Perasaan berat diiringi penyesalan yang menghunjam dalam diam. Air matanya mengalir jatuh membasahi gundukan tanah yang masih memerah. Andai Rasulullah tidak melarang ummatnya untuk meratapi kematian, tentulah ia akan melakukannya dalam tangisan panjang.
Betapa ia juga ingin berandai-andai. Namun apadaya, Rasulullah pun melarangnya mengatakan "sendainya", sebab ia pintu masuknya setan.
Wanita itu menatap dalam tempat di mana beberapa hari lalu suaminya disemayamkan. Anak-anak tercintanya sudah pergi. Ada perih yang seolah mengiris-iris hati tiap kali bayangan suami tercinta seolah menjelma membentuk lintasan peristiwa. Tahun-tahun yang penuh berkah, hari-hari yang sempat diisi bahagia namun perlahan berubah gersang tanpa makna. Semua karena nafsunya mengejar dunia. Melupakan kewajiban utama sebagai ibu sekaligus istri, mengatasnamakan kebahagiaan keluarga.
"Doamu terkabul, Yah." bisiknya pelan. "Sebab Allah lebih menginginkanmu kembali bersama segenap kebaikan yang kau miliki. Maafkan aku yang terlampau jauh melangkah dan terlambat menyadari ..."
Senyumnya memudar dalam kepiluan yang tak tertahankan. Digenggamnya segumpal tanah seolah ingin mendekap erat tubuh yang terbaring di dalamnya. Penyesalan yang mengendap mengingat pengabaian amanah dan petuah bijak sang suami. Rasa digjaya sebagai perempuan telah membawanya pada satu kesalahan besar memposisikan diri di atas kepemimpinan kepala rumah tangga.
"Kupikir, selepasmu pergi, aku takkan merasa kesepian. Akan selalu ada anak-anak yang menemani hingga perih ini perlahan terobati." Isaknya pelan. "Ternyata aku salah ... tanpa kusadari sudah lama aku menukar cinta dan perhatian mereka dengan dunia."
Teriakan gagak bernada minor di antara ranting pepohonan membuat sepi semakin menggigit.
Wanita itu mengusap nisan dengan kedua mata yang mengabur dipenuhi air mata.
"Kenapa harus kamu yang pergi lebih dulu, Yah? karena mereka lebih sayang padamu, tidak denganku...." []
*Cerpen lama, blm diedit maaf klo banyak typo
No comments: