Ketika Ayah Pulang
Oleh : Marsha Zafeera
Kali
ini kami menjalani libur panjang yang tak biasa. Akibat wabah virus korona sekolah
diliburkan selama dua minggu dan diperpanjang sampai 12 April. Awalnya aku
membayangkan belajar di rumah itu seru, bisa sambil bersantai dan makan banyak
cemilan. Namun ternyata semakin lama
malah jadi membosankan.
Tiap
hari bersama bunda setelah selesai belajar pelajaran sekolah aku mengerjakan
tugas mengaji dan hapalan quran. Semua dikerjakan bunda sendirian, karena di
rumah kami tak memiliki pembantu. Sesekali bunda keteteran, tidak sempat
mengerjakan tugas rumah dan kerap marah karena aku terlalu lambat dan suka
menunda pekerjaan. Aku bosan karena
tidak bertemu teman-teman sekolah.
Di
sekolah aku memiliki teman akrab bernama Regina, biasa di sapa Egi. Aku kangen, karena semenjak libur kami jadi
sama sekali tidak bertemu. Suatu hari,
bunda membolehkan aku menelpon egi melalui video call. Egi bercerita banyak dan
menanyakan hari-hariku selama liburan.
Dia juga bilang selama mengikuti sekolah online ia temani oleh ayahnya
di rumah. Tiba-tiba aku merasa sedih,
karena ayahku kerja di Jakarta. Aku membayangkan
alangkah senangnya jika belajar dengan ayah dan seandainya ayah bisa pulang dan
menemani kami belajar meringankan tugas bunda.
Oya, ayahku pulang biasanya sebulan sekali selama tiga hari.
Setelah
melakukan video call dengan Egi, akupun menelpon ayah. Saat telepon bersambung,
aku mengatakan apa yang kuinginkan. Aku
ingin ayah pulang. Namun, ayah menjawab
belum bisa, karena wabah virus lebih dulu melanda ibukota. Ia harus
memeriksakan kesehatannya dulu sebelum memutuskan apakah bisa mengabulkan
keinginanku atau tidak. Ayah bilang, tak
mau menjadi pembawa bibit penyakit dan menulari kami. Atau jika memang keadaan belum normal, ayah
lebih memilih menunggu sampai virus covid-19 ini mereda.
Aku
membayangkan jika ayah pulang dan wabah selesai kami berjalan-jalan lagi di
pantai. Di kotaku banyak sekali pantai yang
indah. Terakhir ayah pulang kami mengajak
kakek ikut serta dan pulang menjelang sore. Hari itu terasa seru karena kami
melewatkan hari sambil berenang, bermain pasir, berlarian di sepanjang pantai
dan makan bersama.
Ayah biasanya pulang ke Bandar Lampung
menggunakan pesawat terbang. Ayah juga mengatakan kemungkinan bandara-bandara akan
ditutup jika pemerintah memutuskan lockdown
atau sosial distancing. Maksudnya, seluruh warga diminta untuk banyak
berdiam di rumah dan menjaga jarak di keramaian untuk memutus rantai penularan
penyakit. Virus corona walaupun mungil
dan lucu dilengkapi semacam jarum yang banyak ditubuhnya sehingga mudah
menempel di tubuh manusia. Ia
menyebabkan kematian, karena siapa saja yang tertular akan mengalami batuk,
pusing dan sesak napas. Virus ini bukan virus flu biasa. Pertamakali ditemukan di Wuhan, China. Yang membuatnya berbahaya, jika seseorang
terkena virus ini biasanya tak mengalami gejala apapun. Nanti 14 hari setelah
masa inkubasi, barulah orang tersebut mengalami tanda-tanda positif
corona. Selama masa virus tertidur, jika
orang tersebut tetap beraktivitas dan
bertemu banyak orang ia bisa menularkan penyakit memlalui bersin dan
batuk. Akibatnya, bukan cuma aku, Egi, bunda, dan ayah yang bisa tertular
melainkan seluruh penduduk kota.
Hampir
setiap hari ayah menelponku. Tapi bagiku lebih seru jika ayah pulang dan
berkumpul di rumah, agar hari-hari libur kami terasa lebih semarak, dan yang
pasti tugas bunda menjadi lebih ringan.
Pada
hari ke empat sekolah online, aku mendapat tugas membuat vlog mengenai bahaya
corona. Dibantu bunda aku berperan
sebagai virus kecil yang tak kasat mata.
Melalui banyak artikel yang tersedia di google, aku jadi mengetahui dan
melanjutkan bercerita kepada teman-teman di rumah, agar sering-sering mencuci
tangan dengan sabun, rajin mandi minimal dua kali sehari dan tidak bermain dulu
ke luar rumah selama masa social distancing, dan mengenakan masker jika
terpaksa keluar rumah.
Hari-hari
berikutnya masih seperti biasa. Pagi aku
menjalankan sekolah online sampai jam 12.00, sore harinya bermain di teras atau
halaman rumah, dan malamnya aku mengaji dan setoran hapalan quran. Sesekali bunda mengajakku mewarnai dan
belajar menggambar di handphone dengan aplikasi ibispaint sebagai pengusir rasa
bosan.
Hari
ke sepuluh liburan, siang hari setelah salat zuhur, pintu rumah ada yang
mengetuk. “Dek, tolong buka pintunya,”
pinta bunda, sebab ia tengah mencuci pakaian di belakang. Akupun melangkahkan
kaki ke pintu depan lalu membukanya.
Suprise! Aku terkejut melihat sosok ayah yang tersenyum dan merentangkan
tangan untuk segera dipeluk “Ayaaaah
...,” teriakku sambil berhambur memeluknya dengan erat. Akhirnya ayah
pulang. Ayah mengabulkan semua yang
kuinginkan, ia menemaniku belajar online, membantu mewarnai bersama dan
menonton film kartun kesukaan. Aku
senang sekali.
Sayangnya,
aku merasakan pipiku seperti ditepuk-tepuk seseorang. Rupanya, bunda membangunkan aku yang tertidur
siang setelah lelah belajar. Ternyata, kedatangan
ayah hanya mimpi. Kata bunda, mungkin
itu disebabkan karena aku terlalu merindukannya. Ayah tidak bisa kembali sampai wabah
dinyatakan usai. Sekalipun merasa sehat, kata ayah ia tidak ingin mengambil
resiko menjadi silent carrier atau
pembawa penyakit yang tak sadar menulari banyak orang. Sebab, tidak ada jaminan ayah tidak akan
tertular selama penerbangan pulang, sekalipun telah berhati-hati menggunakan
masker dan rajin cuci tangan di sepanjang perjalanan []
❤❤❤❤
*ini adalah cerpen hasil karya anakku yang diikutsertakan dalam buku antologi "Asyiknya Belajar Di Rumah" bersama para penulis cilik komunitas Joeragan Artikel
No comments: