Menuntaskan Masa Lalu
Tahukah kau rasanya kehilangan anak semata wayang meski sesaat? Separuh jiwamu seolah terbang entah kemana.
20 menit di suatu senja di Garden by the Bay, Singapura, sosok lelaki mungil 7 tahun itu sempat hilang dari genggaman tanganku. Tangisku pecah, meski sempat beberapakali berusaha menenangkan diri. Sosok suamikupun tak kelihatan, ia tengah berusaha menghubungi bagian informasi untuk melapor kepada petugas taman tentang putra kami yang hilang. Aku masih berdiri disini, didekat tiga pohon raksasa di tempat terakhir anakku menghilang, berharap ia menemukanku disini sebagaimana salah satu instruksiku jika terpisah dalam perjalanan. Kembalilah ke tempat terakhirmu melihat Bunda....
10 menit berlalu dalam ketegangan. Aku berbisik sendirian, "Ya Allah, jika Engkau masih mempercayaiku sebagai ibunya, tuntunlah putraku agar kembali kepadaku", pintaku dalam hati.
Selang beberapa menit seorang petugas taman lengkap dengan handytalky ditangan melintas...aku memanggil.
"Excusme sir, can you help me please?"
Pria itu menghentikan langkahnya
"Yes meam..what can i do for you?", ucapnya penuh keramahan
"I lost my child, a boy about 7 years old"
"Ooowh...dont worry, maybe he is in our office now, because i just heard a child was found there...5 minute ago"
Mataku berbinar....tapi kemana suamiku??
Sesaat kemudian sosok suamiku muncul menggandeng putra kesayanganku bersama seorang pria....
Bocah lelaki itu langsung berhambur memelukku dengan erat seolah tak mau berpisah lagi, ia berbisik "Bunda, om itu yang menolongku saat tersesat tadi"
Aku mendongak kearah pria yang dimaksud yang sedari tadi luput dari perhatianku....
Degh! Tiba-tiba jantungku serasa kembali terhenti
"Terima kasih bang Arya, telah membantu Rafi kembali pada kami..." ucapku datar
Suamiku terpana, "kalian saling kenal, Bun?"
Aku mengangguk
"Iya Yah....Abang ini seniorku dulu di kampus. Qodarullah kami bertemu lagi disini setelah puluhan tahun berlalu", jelasku
Laki-laki itu tersenyum kikuk.
***
Rafi sudah kembali ceria dan sedang memesan ayam goreng kesukaannya disebuah restoran cepat saji di pinggiran taman. Ayahnya menemani, seolah tak ingin melepaskannya walau sekejap, atau mungkin juga memberikanku kesempatan berbicara dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya, yang diketahuinya sebagai sahabat lamaku.
"Putramu cerdas, ia kutemukan menangis di sudut taman, namun masih mampu berjalan kesana kemari seolah memilih para pengunjung untuk ditanyai. Aku tak sengaja memperhatikan gerak geriknya tadi saat memotret", ucapnya membuka pembicaraan
"Dia mencoba meminjam handphone pengunjung yang lain untuk menelponmu, namun sayang sebagian besar orang yang diajaknya bicara tak mau membantu. Aku menghampirinya, meski terlihat takut...ia masih mampu menjawab semua pertanyaanku"
"Kemudian aku membawanya ke bagian informasi, tadi sempat ingin menelpon sesuai dengan nomor yang Rafi sebutkan, namun suamimu ternyata sudah disana..."
Aku diam mendengarkan kisahnya...
"Ia pintar dan berani seperti dirimu" pujinya dengan nada penuh kesungguhan
Aku membuang muka....
"Terimakasih, simpan saja pujianmu itu untuk istrimu", jawabku datar
"Luna....tak inginkah kau menyebutkan namanya ?.... bukankah kalian dulu berteman akrab...?" jawabnya seolah sengaja menyebutkan nama istrinya dihadapanku, sebuah nama yang mengingatkanku cerita lama yang tak pernah ingin kukenang lagi...
"Arwa, sampai kapan kau memendam dendam pada Luna, padaku...bukankah kami sahabatmu?
Senyum sinisku tersungging
"Dendam?, menurutmu aku dendam pada kalian? Luna benar-benar sudah mencuci otakmu..."
Ia terdiam
"Kupikir masalah ini sudah selesai sebelum kami menikah dulu, bukankah kalian sempat bertemu dan berbicara dari hati-kehati sebagai wanita?"
"Memang, antara aku dan dia, tapi tidak denganmu. Tidakkah abang berfikir setelahnya kenapa aku berubah dan memilih menjaga jarak dari kehidupan kalian seolah tak pernah ada hubungan apapun diantara kita?" Aku balik tertanya
Sejenak ia ragu terlihat ragu
"Luna bilang, sejak kau juga menikah suamimu mengekangmu dan kamu memilih taat padanya seolah menarik diri dari pergaulan"
Seringai penuh ejekan terlihat jelas dimataku
"Kau lihat dia..."kataku sambil menunjuk... "Apakah pria seperti itu yang punya tampang mengekang hidupku?, sementara ia duduk disana bersama putra kami dengan santainya dan aku berbicara dengan seseorang yang dia pikir hanya seniorku dulu, tanpa prasangka apapun?!"
Ia terdiam
"Aku memilih pergi dari kehidupanmu, karena sikap Luna yang posesif. Tak sadar kah kau?"
"Hari itu saat aku tahu rencana pernikahan kalian, jujur hatiku sakit....aku merasa dikhianati sahabat karib ku sendiri. Entah drama apa yang tengah kalian mainkan, disaat seluruh teman sudah tahu rencana pernikahan itu, aku justru sebagai sahabat terdekat tidak tahu apapun dan menjadi orang terakhir yang diberitahu. Luna datang memberikan undangan pernikahan kalian tepat beberapa hari sebelum akad berlangsung"
"Dan tahukah kau apa yang dikatakannya hari itu? Maaf Arwa, abang telah memilihku... Aku tak merebutnya bukan?, karena selama ini abang bilang tidak pernah memacarimu"
Aku menatapnya tajam
"Aku membencimu setengah mati sejak hari itu,
meski demikian, atas nama persahabatan aku masih tetap datang membantu kalian di hari pernikahan, masih berusaha berdiri tegak disana sebagai pagar ayu dengan senyum yang mengembang sebagaimana permintaan kalian" ucapku setengah meninggi karena emosi...
"Tapi apa yang kudapat dari itu semua??! Cemooh para sahabat dan ibuku sendiri, seolah melengkapi kebodohan yang kuperbuat". Lanjutku
"Waktu itu aku masih berharap kita bertiga akan terus berteman baik, namun sejak saat itupun kau tak pernah mencoba menemuiku barang sesaat. Satu dua kesempatan berjumpa pernah ada, tapi kau bagai menghindariku, entah memang masalah ini kau anggap selesai begitu saja, atau karena Luna melarangmu bicara denganku empat mata", ucapku parau
"Arwa...aku minta maaf...aku...."
"Sudahlah...aku tak mau mengemis persahabatan dari orang-orang yang tak layak dijadikan teman...aku juga tak mau mengingat kisah ini lagi..., ku ucapkan sekali lagi terimakasih banyak telah mengantarkan Rafi kembali...."
***
Enam bulan kemudian, di kota dimana kami di besarkan di tanah air...
Dengan pelan aku mengendarai Ertiga putihku dijalan raya.
Hujan mulai turun menyebabkan kaca depan sedikit kabur, aku menghidupkan whiper.
"Astagfirullah, aku lupa membawa kacamata...", gumamku
Pantas saja dari tadi seolah ada yang salah, belakangan baru kusadari jalanan terlihat tak begitu jelas dan hujan makin memperburuk situasi.
Kukurangi kecepatan mobil, menajamkan feelingku berkendara dalam cuaca gelap.
Tak berapa lama, tiba-tiba sebuah mobil hitam melintas memotong jalanku tanpa memberi tanda sebelumnya, sedikit kaget aku mendadak menginjak rem untuk menghindari tabrakan. Namun terlambat benturan ringan sempat terjadi di bagian depan mobil.
Aku memasang rem tangan dan membuka pintu mobil. Hendak memeriksa kerusakan...
Belum sempat berkata-kata pengendara mobil hitam keluar dengan terburu-buru sambil berkata
"Maaf, maaf bu....saya.....terburu buru,...Arwa....?!"
"Bang Arya...?!"
"Maaf Wa, saya sedang mengejar pesawat ke bandara, mau menjemput tamu dari luar kota, nanti kita bicarakan setelah ini ya....sepertinya hanya penyok sedikit....Oya tolong minta nomor kontakmu..."
Sambil mengeluarkan HP
"Gak usah bang, biar saya perbaiki sendiri nanti, urusi saja mobil abang", jawabku sambil kembali masuk ke dalam mobil
Ia mengekoriku hingga masuk
"Tapi...aku yang salah telah membuat mobilmu rusak"
"Tak apa-apa, bukankah memang itu keahlianmu", sindirku sambil tertawa sinis
"Tapi tak bolehkah aku memperbaikinya?, setidaknya berikan nomor telponmu" pintanya lagi seolah tak perduli dengan sindiranku
"Jika kau memang berniat baik, tanyakan pada istrimu, dia pasti tahu...toh selama ini aku masih bergabung di group jurusan, facebook, WA, lineku juga aktif 24 jam, sangat mudah menemukanku jika kau mau", ucapku sambil menyalakan mobilku.
Arya termangu..
"Please bang, jalankan mobilmu kita sudah mendzolimi orang lain dengan membuat kemacetan"
***
Keesokan harinya, WA dr nomor asing,
Boleh tahu bengkel langgananmu untuk memperbaiki mobil? @Arya],
[Akhirnya kau cukup berani menghubungiku bang, dia kah yang memberitahukan nomorku?] Balasku
[Tidak, aku menemukan nomormu di profile facebookmu]
[Apakah dia tahu kau menghubungiku?]
[Tidak]
[Kalau begitu, jangan menghubungiku lagi, ok. Bye]
Telpon berdering, nomor asing yang sama, yang mengirimkan pesan ke handphoneku tadi. Aku membiarkannya hingga berhenti berdering.
Sesaat berhenti. Namun tak lama handphone kembali berbunyi
"Siapa nda?", tanya suamiku yang sedari tadi heran melihatku tak mengangkat panggilan di HPku
Aku bersikap tak acuh, "gak tau, orang iseng kali gak ada di list phoneku, Yah", jawabku sekenanya...
Sejenak ia melirik HPku, memang hanya nomor yang tertera, tanpa nama.
"Setidaknya angkat lah dulu, biar dia gak menelponmu terus-terusan..."
Dering berhenti.
Aku tak perduli.
***
Aku duduk santai di pinggir pantai disebuah kursi malas panjang dengan notebook kecil di pangkuan.
Senja itu, aku memilih mencari inspirasi novel terbaruku dipinggir pantai. Rafi terlihat berlari-lari kecil di pasir yang berkilauan. Suamiku berjanji menyusul kami nanti malam diantar sopir kantor sepulang kerja. Kami bertiga akan menghabiskan akhir pekan menginap di cottage pinggir pantai hingga besok sore....
"Bunda, bunda! ada om yang dulu menolongku di Singapur", teriak Rafi sambil menunjuk seorang laki-laki yang tengah sibuk memotret sunset di pinggir pantai.
Aku kaget, menoleh mengikuti jari telunjuknya...
Sejenak ia berdiri dan menyadari kehadiranku dan Rafi.
"Sepertinya, sekeras apapun kau menghindar, takdir Allah mempertemukan kita lagi", serunya ringan sambil mendekat.
Aku pura-pura sibuk dengan laptop miniku.
"Heran, Kenapa abang selalu terlihat dikota ini? Setahuku abang di Sulawesi bukan?"
"Ia tersenyum. Sudah lama aku dipindahkan ke Solo. Sekarang Luna dan anak-anak tinggal disana".
Lalu kenapa di sini?
"Ayah ibuku kan masih tinggal disini"
"Heran, suami macam apa yang lebih suka berpergian sendiri tanpa keluarganya", ucapku tanpa melihat wajahnya, memainkan kursor laptopku kesana kemari.
"Seorang suami yang tak bahagia mungkin", jawabnya diluar dugaanku.
Mataku menyipit, lalu bicara dg nada mengejek...
"Menurutmu itu akan membuatku puas, begitu?. Abang salah, aku tak perduli dengan kehidupan kalian sedikitpun. Hentikan keluhanmu"
"Kupikir kau dulu mencintaiku" ucapnya sambil mengambil posisi duduk di kursi panjang sebelahku
"Memang, aku takkan menampik itu...tapi sepertinya itu hanya cinta semu seorang gadis belasan tahun, kau sudah lupa skrg aku hampir 40 tahun!", sindirku
"Lagipula, cinta macam apa dulu yang kupunya untukmu, sampai sekarang aku pun tak faham. Sementara kau juga tak pernah mengajariku bagaimana cara menyimpan cinta itu dengan baik, sudah lupakah kau? Ataukah harus kuingatkan kembali?"
Ia menghela nafas...membiarkanku terus bicara
"Ketika kau hendak merantau ke Sulawesi, kau menelponku...kau menanyakan pendapatku sebagai perempuan. Kau berandai-andai jika seorang pemuda menyukai seorang wanita namun ia harus merantau ke karena tugas memanggil, haruskah pria itu pergi? Aku menjawab merantaulah agar kau menjadi pria sejati. Kau tanyakan lagi apakah kira-kira wanita itu akan menunggu? Aku jawab jika berjodoh, mereka akan dipertemukan kembali. Kau seperti sengaja membuatku bertanya-tanya, aku kah yang kau maksud? Ciih!...Kau begitu pandai memilih kata".
"Kemudian kau pamit pergi merantau. Sesampainya disana kau menghubungiku, memberi alamat dan nomor telponmu disana. Seolah membiarkan imajinasiku berfikir, seakan kau berkata 'jangan khawatirkan aku', Memang...setelah itu, aku tak pernah mencoba menelponmu walau sekali pun, semua disebabkan karena aku terlalu menjaga kehormatan diriku. Bahwa tak baik jika wanita terlalu mengejar-ngejar pria, meski cintanya menggebu-gebu sekalipun. Aku berkeyakinan jika memang bersungguh-sungguh, kau pasti akan kembali"
Aku tertawa sinis...melanjutkan emosi yang belum selesai ditumpahkan...
"Namun aku salah, kau kembali dengan undangan pernikahan, dimana mempelai wanitanya adalah sahabat karibku sendiri, bukan aku"
Silahkan tertawa, tertawakan aku sesukamu, tertawalah pada diriku yang dulu begitu naif...
Aku yang terlalu bodoh menganggap kau memiliki perasaan yang sama denganku ketika kau mulai sering mengunjungi rumah dan berbincang dengan ibuku. Ketika kau menghabiskan waktumu mengerjakan skripsi menggunakan komputer rumah, sekalipun aku sedang tak ada....mengabaikan ucapanmu yang sebelumnya mengikrarkan diri sebagai kakak angkatku..."
"Seketika kau memilih sahabat karibku, tanpa sepatah katapun yang kau ucapkan sebelumnya.... Jika kau memang menganggapku seorang adik, kakak macam apa yang menghilang begitu saja, tanpa penjelasan apapun pada adiknya atau ibuku?, teman macam apa yang menghilang begitu saja setelah ia menemukan kebahagiaannya?!, ataukah memang selama ini aku hanyalah alat untuk mencapai tujuan kalian...?!!!!"
Ia tertegun
"ini tak seburuk yang kau pikir Wa, aku dan Luna dulu semata-mata hanya ingin menjaga perasaanmu agar kau tak terluka waktu itu"
"Cuiihhh...!!! kau mengatasnamakan perasaanku, sementara sikap kalian seolah memperlihatkan persahabatan ini tak pernah ada artinya".
"Sudahlah, tak ada gunanya membahas ini setelah sekian lama....sudah kadaluarsa! Aku tak tertarik lagi dengan kehidupan kalian"
"Maafkan kami wa...."
"Maaf saja bukan berarti semua kembali seperti dulu, terimakasih sudah banyak mengajarkanku contoh buruk dalam pencarian makna sahabat sejati".
"Pulanglah abang tentu tidak akan menginap juga disini kan?, sampaikan salamku pada istrimu.... bersikaplah dewasa, kita bukan lagi remaja belasan tahun...Jangan khawatir, bertemu dengan suaminya takkan membuat getaran apapun lagi di hatiku.... Lagipula masing-masing kita sudah memiliki keluarga, aku sudah lama mengikhlaskanmu tak berjodoh denganku....Apa yg masih kupendam selama ini hanyalah kebencian yang tertahan dan rasa tak percaya diri atas pertemanan mengatasnamakan persahabatan sejati, namun hari ini sudah kuselesaikan...."
Aku menutup notebookku, menoleh dan berteriak pada anakku "Rafi sebentar lagi magrib nak, hayuk masuk ke pondok....!"
***
Malam hari, suamiku sudah datang menyusul ke pantai.
Rafi telah tertidur....
Kami duduk bersebelahan menikmati malam di teras cottage yang nyaman menghadap ke laut....kilauan air diterpa cahaya bulan dan lampu-lampu penginapan menambah cantik suasana....
"Yah, masih inget gak cerita bunda dulu saat mau menikah, bunda bilang sempat trauma dengan persahabatan dan percintaan"
"Ooo...kisah segitiga dengan sahabat dan seniormu itu?!"
"Iya, Mmm....senior yang kumaksud itu sebenarnya bang Arya, laki-laki yang menolong Rafi saat tersesat di Singapur..."
Sejenak wajahnya berubah. Namun secepatnya kembali di netralisir olehnya....
"Tadi tanpa sengaja kami bertemu lagi disini, kami sudah bicara empat mata....inshaAllah ganjalan yang ada di hatiku selama ini sudah kubuang jauh..."
"Akhirnya.....setelah sekian lama...."
Ia terdiam sejenak. Kemudian menoleh...
" Yakin gak ada lagi yang tersisa....? Berdamailah dengan hatimu sendiri...kita tak pernah bisa memaksa Allah selalu mengirim orang-orang terbaiknya untuk menjaga hati kita. Justru dengan berbagai karakter orang-orang yg ditempatkan disekeliling kita itulah ujian. Dan tugasmulah untuk memilih, akankah memberi warna pada dunia, atau membiarkan warnamu luruh bersama warna-warna lain yang dominan....."
Aku tersenyum sambil merangkulkan tanganku ke pinggangnya, sambil mendaratkan ciuman ringan dipipinya....
"Makasih ya yah, atas semua kepercayaan dan dukungan yang kau berikan selama ini, dan bunda telah memilih menguatkan warnaku sendiri....."
Ia pun tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku dengan lembut.
Kedamaian itu pelan-pelan menyeruak di relung hatiku yang paling dalam....
---BDL 31 Maret 2018---
Cerpen ini di muat di buku ADB
No comments: