Janji
*Gambar hanya pemanis, salah satu sketsa yang dibuat gak ada hubungannya dengan cerpen
Pak Beni menutup buku laporan keuangan tahunan perusahaan dengan senyum mengembang. Laba bersih usaha mencapai 1 milyar lebih dalam setahun... Wow! sebuah pencapaian luar biasa menurutnya. Terbayar sudah kerja kerasnya setahun terakhir. "Hasil memang tak pernah menghianati ikhtiar....!", gumamnya penuh kebanggaan.
"Alhamdulillah usaha kita maju pesat tahun ini, Bu. InshaAllah bapak merencanakan hadiah liburan keluarga buat ibu dan anak-anak", ucap pak Beni sesampainya dirumah pada kesempatan makan malam bersama keluarga.
Mata sang istri dan kedua anaknya terlihat berbinar.
"Alhamdulillah...kemana pak, dalam negeri apa mancanegara...?" Bu Beni bertanya
"Keluar lah bu, bosen kalo di sini-sini aja....ibu boleh pilih salah satu, mau keliling Eropa, Negara Balkan, Jazirah Arab, Amerika atau Asia saja"
"Shinta maunya keliling Eropa pak...pengen lihat menara Eiffel dan gondola di Venesia", ujar anak tertuanya yang sudah beranjak dewasa.
"Kalau Rama maunya ke Turki, Dubai negara-negara di jazirah Arab pak, biar kita bisa melihat peninggalan sejarah keemasan islam dimasa silam", Si Bungsu yang masih duduk dikelas 2 SMA, ikut bicara dengan antusias.
"Kalau ibu, sama seperti Shinta, Pak, pengennya ke Eropa. Bapak sendiri maunya kemana....?", sang istri balik bertanya
"Sama bu, Bapak maunya ke Eropa"
Wajah Rama sekilas menunjukkan kekecewaan, namun sebentar berubah cerah kembali. "Ya udah lah gak pa pa pak ke Eropa aja, Rama mau!. Siapa tau tahun depan kalau usaha Bapak makin maju, kita bisa liburan lagi ke Turki dan sekitarnya...."
Bu Beni dan Sinta mengangguk setuju.
"Baiklah kalau gitu, Eropa...kami akan datang....!!!", Pak Beni berteriak penuh semangat, kemudian menyantap hidangan dengan lahapnya.
Semua pun tergelak....
***
Pak Beni terjaga dari tidur panjangnya. Ia mengamati sekelilingnya yang terlihat asing. Ribuan bahkan jutaan manusia tanpa busana tengah berjalan ke satu arah yang sama dengan wajah tertunduk seolah dalam kecemasan yang teramat dahsyat. Diantara lautan manusia ada yang berkendara, berjalan kaki dengan wajah biasa, sebagian lagi bercahaya. Namun disudut sana ada yang berjalan dengan mulut penuh darah. Dibagian lain terlihat manusia yang wajahnya menyerupai babi, ada pula yang tubuhnya dipenuhi kudis dengan bau menyengat...disana ada wanita yang perutnya membusung seolah hampir meledak, ada pula pria yang bertaring dengan lidah terjulur....Keadaan mereka amat mengerikan.
Sungguh pemandangan yang ganjil.
"Dimana aku.....??? Kenapa aku tertidur di tanah...??? dan tubuhku....?! Kenapa tidak ada selembar benangpun menempel dibadanku juga...??"
Taaar!!!!.....Taaar...!!!
Bunyi keras lecutan, membuyarkan sejumlah pertanyaan yang mengendap di kepala pak Beni.
Sosok tinggi besar dengan suara menggelegar seolah menghardik,
"Maju....!! maju....!!!"
Ah...tak ada waktu untuk berfikir. Pak Beni beranjak dari tempatnya terbangun, seolah terhipnotis mengikuti gerak lautan manusia ke satu titik, entah dimana ujungnya.
Perjalanan itu tak terkira jauhnya....
Sampailah mereka di lapangan maha luas, tandus nan gersang tiada naungan sebatang pohonpun seolah tak bertepi. Kelelahan sudah begitu mendera sekujur tubuhnya, peluh sebesar biji-biji jagung mulai bercucuran di wajah Pak Beni. Aneh, dunia terang benderang namun sosok matahari entah bersembunyi dibagian mana? Ia mulai mengeluh "Ooh... inikah akhir dari perjalanan...!!?"
Tiba-tiba entah instruksi dari mana lautan manusia itu terduduk ditanah. Pak beni pun ikut bersimpuh.
Satu persatu mulai maju sesuai nama yang dipanggil oleh suara lantang yang entah dari mana asalnya. Pak Beni menunduk masih dalam kecemasan dan ketakutan akan sesuatu buruk yang mungkin terjadi padanya.
Satu persatu manusia menerima sebuah buku tebal. Kebanyakan dari mereka menerima dengan tangan kirinya, lalu tertunduk lemas dalam wajah penuh penyesalan. Satu dua orang menerima kitab di sisi kanan memancarkan wajah ceria penuh kebahagiaan. Seolah tercermin kerinduannya akan seseorang yang dicinta akan segera terobati.
Pak Beni menanti dengan cemas, ia tersentak.. seolah baru saja menyadari sesuatu...."Ya Allah....Apakah ini yang dinamakan padang masyar...??", desisnya.
"Beni Nugraha bin Abdullah Umar....!!!" ia kembali terhenyak mendengar namanya telah disebut.
Perlahan ia berjalan maju kedepan.
Terbayang dipelupuk matanya, amalan-amalannya selama didunia. Dirinya yang selalu menjalankan sholat berjamaah lima kali diawal waktu, sholat sunnah, puasa, dhuha, tahajud, tilawah quran, sedekah dan infak, serta haji dan umroh hampir semua ibadah dikerjakan tak ada yang terlewati. Pak Beni harap-harap cemas. Semoga penilaian Allah juga sama....doanya terpanjat dalam hati.
Buku diberikan, tangan kanannya bergerak menyambut pemberian itu.
Kebahagiaannya membuncah.
Ia kemudian terus berjalan mengikuti perintah, kali ini dari sosok tinggi besar yang suaranyanya begitu berwibawa. "Oooh...diakah Malaikat Ridwan?!" "Mmm...kurasa bukan...ini belum disyurga". Bisik Pak Beni pada dirinya sendiri.
Langkahnya terhenti.
Didepannya telah terbentang sebuah neraca ukuran raksasa...
"Itukah yang disebut Mizan, sang timbangan amal?"
Rasa cemas kembali menyeruak direlung hati terdalam pak Beni....
Terbayang kembali muamalahnya pada sesama manusia didunia. Kebaikannya pada sang istri dan anak-anak, sopan santunnya pada mereka yang lebih tua, adab muamalahnya kepada non muslim, tetangga dan haidan taulan....rasa-rasanya tak ada yang perlu terlalu ditakutkan.
Pintu syurga Ar Rayyan, Al Ayman, pintu sholat, pintu zakat, Al kazhimina Al Ghaiza wa Alfina'an an nass sempat terbayang dipelupuk matanya...
Pak Beni masih menanti namanya dipanggil kembali. Tiba-tiba terbersit rasa takut neraca itu bergerak kearah keburukan, tapi perbuatan apakah itu? Pak Beni mencoba menerka-nerka namun tak menemukan jawabannya, "Duhai Allah adakah perbuatanku yang bisa membuatku terjatuh dalam kerugian?", ratapnya penuh kecemasan
Namanya kembali disebut oleh suara yang menggelegar.
Pak Beni kembali maju.
Timbangan itu bergerak tak seimbang, kadang ke kanan, terkadang kekiri....tak bisa stabil ke satu titik dalam waktu lama.
Pak Beni mulai menangis ketakutan....
"Duhai Allah, apakah gerangan dosaku sehingga sang mizan begitu sulit bergerak ke kanan?" Keluhnya....
Suara itu menggelegar lagi, cukup membuat tubuhnya semakin menggigil ketakutan....
"Panggil Nanang Suryana bin Fulan, Ismi Azizah binti si Fulan, dan Inda Bangsawan bin Fulan...hadapkan didepan Beni Nugraha bin Abdullah Umar.
Pak Beni tersentak....
Gerangan dosa apa yang membuatnya harus dihadapkan dengan orang-orang yang dulu dikenalnya di dunia itu?. Mereka adalah karyawan yang bekerja diperusahaannya dan satu lagi seorang mitra kerjanya.
Batin Pak Beni berontak tak terima.
Ketiga orang itu kemudian berdiri dihadapannya.
Suara itu kembali terdengar...
"Nanang Suryana, sampaikan keluhanmu selama ini yang membuat timbangan amal Beni sulit bergerak ke kanan" titahNya...
Nanang mulai membuka suara,
"Hamba tak ridho ya Allah, pak Beni semasa hidupnya pernah berjanji akan menghadiahkan rumah untuk keluarga saya, jika penjualan barang yang diproduksi perusahaan sesuai bahkan melewati target yang ditetapkan. Namun dua tahun berselang, meski omset dan laba perusahaan naik, beliau tak kunjung menepati janjinya. Sampai ia dan saya meninggal anak istri saya masih tinggal di kontrakan yang bocor dan tak layak...."
Pak Beni tertegun, Ya...dulu ia memang pernah berjanji. Namun sengaja dilupakan....karena pikirnya itu hanyalah ucapan yang tak perlu dipertanggungjawabkan. Ucapan itu hanyalah motivasi semu agar karyawannya itu giat bekerja. Tak ada saksi, tak ada catatan tertulis mengenai hal itu...
"Ismi Azizah, sekarang giliranmu"
"Hamba juga tak ridho ya Allah, pak Beni semasa hidupnya juga pernah berjanji akan mengumrohkan saya dan ibu saya, atas prestasi kerja yang sejak awal perusahaan berdiri ikut saya rintis hingga berkembang seperti sekarang. Namun sejak laba perusahaan mulai terlihat, tak pernah hatinya tergerak untuk menepati ucapannya, bahkan sampai ajal menjemput saya dan ibu, beliau seperti sengaja melupakan ucapannya"
Pak Beni tertunduk lemas....Ismi benar, ia pun sengaja melupakan janji itu....
"Terakhir, giliranmu Indra bangsawan bin si fulan, silahkan bicara"
"Hamba, indra bangsawan, merasa tak ridho atas perbuatan Beni Nugraha, semasa beliau bermuamalah dengan saya...beliau kerap tak bisa dipegang omongannya dalam masalah hutang piutang. Beliau mengambil bahan baku dari gudang saya, namun pembayaran selalu dipermainkan tidak sesuai akad. Beliau terkadang memainkan pembayaran dengan cek mundur, agar saya mau memberikan bahan baku yang baru, sementara pembayaran bahan baku yang lama baru bisa terlunasi dibulan berikutnya....kejadian ini tidak hanya berlangsung sekali dua kali...bahkan terakhir saat saya memutuskan hubungan kerjasama, masih ada kewajiban yang belum diselesaikannya. Namun beliau mengingkari semuanya, dan memutarbalikkan fakta mencurangi perjanjian tertulis yang pernah kami sepakati sebelumnya, sehingga kerugian harus saya tanggung sendiri....ia telah dzolim ya Allah, hamba meminta keadilanMu"
Pak beni berteriak dan meraung....sama sekali tak menyangka akan diadili dihadapan orang-orang yang ia pikir telah diberi makan dari tangannya....
"Katakan apa pembelaanmu Beni Nugraha...???"
"Hamba mengaku salah ya Allah, hamba akan membayar hutang dan menepati janji itu sekarang..."
Suara tawa membahana....
"Ini yaumil akhir.... tak ada lagi mata uang ataupun harta yang kalian bawa, maka ambil sebagian pahala Beni nugraha dan berikan kepada ketiga orang ini..."
Keadilan pun ditegakkan....
Neraca perlahan bergerak kekiri.... Pak Beni tak terselamatkan.
Ia menangis sejadi-jadinya.....
****
Tiba-tiba tepukan lembut nan hangat di pipi mengagetkan dirinya...
Matanya membuka perlahan-lahan....
Wajah istrinya tengah tersenyum dengan manis.
"Bapak barusan mimpi buruk ya....??"
Pak Beni mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan, ini kamar di rumahnya, bukan Padang Masyar ataupun Hari Pembalasan. Ia mengusap wajahnya, menarik nafas lega....
"Sebentar lagi azan subuh pak, bapak gak ke masjid?" tegur istrinya
Pak beni beringsut dari tempat tidur hendak menuju kamar mandi, namun dari rona wajahnya ia masih terlihat seperti orang kebingungan.
Istrinya masih memperhatikan,
"Bu, jalan-jalan ke Eropanya kita tunda dulu ya...., Bapak baru ingat ada beberapa janji dan hutang yang harus segera dibayarkan. Nanti jika keuangan Bapak masih memungkinkan, inshaAllah kita jadi berangkat..."
Istri pak beni terlihat kebingungan [tamat]
*****
Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya [al-Isrâ'/17:34]
uhh dalem banget mbak, bener sih. kl udah janji, ya mesti ditempat, apapun kondisinya. apalagi udah di jelaskan dalam al-quran. hhh
ReplyDeleteMksh sdh mampir dan mbaca semoga bmanfaat
ReplyDelete