Bapak
"Selepas emak pergi, jangan dulu pulang ke Depok ninggalin Bapak, Dek, temani dia," Pinta salah satu sepupuku sambil menangis usai pemakaman emak.
Aku tersenyum dalam getir. Tanpa diminta, aku tentu melakukannya sekalipun terseret dilema.
Dari kecil aku memang lebih dekat dengan bapak. Bapaklah tempatku bermanja-manja, bahkan meski sudah di bangku SMA aku masih kerap tidur dipuk-puk dan duduk di pangkuannya tanpa risih, sekalipun ia kerap mengomel. Aku pun selalu bersembunyi di balik punggungnya, tatkala emak siap dengan omelan panjang menganak sungai jika tak berkenan atas kelakuanku.
Memori itu begitu lekat, tentang kehangatan lengan seorang ayah tatkala putrinya tengah demam masih terasa. Dia lah yang bakal menyelimuti bahkan menggendong tubuh kecil ini berjalan menuju RS terdekat. Bapak sejak dulu tak bisa mengendarai kendaraan apapun kecuali sepeda. Sebab hatinya lembut dan sederhana.
Sekalipun begitu, cinta bapak tak penah berkurang. Walau tak terucap kasihnya selalu terwakilkan dengan perhatian dan tindakan nyata.
Suatu waktu, meski belum ikhlas dengan kepergianku tatkala menikah dan harus merantau mendampingi suami bertugas, tangannya yang mulai keriput tetap membantu mengepak barang. Kutangkap sudut matanya sempat berkaca-kaca ketika mobil angkutan sudah siap menyeberang ke ibukota.
Aku pernah meninggalkannya demi kehidupan baru dan bertahun-tahun kami terpisah jarak. Kerinduanku hanya terobati oleh benda tipis penyambung suara. Jangan minta ia untuk video call, karena bapak nggak akan ngerti.
Suatu ketika, suaranya berubah riang saat kubilang akan pulang dan bersedia melewatkan masa tuanya di rumah dimana aku dibesarkan. Sekalipun tak bisa ditutupi kekhawatirannya, keputusan itu menempatkanku pada posisi yang sulit, seperti berjudi dengan nasib. Rumah tangga anaknya sendiri menjadi taruhan.
Waktupun berjalan ... belum genap tiga tahun membersamai, emak pulang terlebih dulu. Padahal, yang sempat sakit parah berbulan-bulan justru bapak. Ironisnya lagi emak pernah bilang, "kalau bapak yang pergi duluan, emak akan ikut kamu." Ah ... Itu ternyata tak pernah terjadi. Begitulah Qodarullah, tidak ada yang tahu umur manusia. Sekalipun aku sendiri.
Aku tak berharap banyak cinta dari anak cucu kelak seperti halnya aku kepada bapak. Namun yang jelas saat ini, kasih bapak yang membuatku ingin melakukan banyak hal untuknya, sekalipun harus menahan sabar atas segala ujian.
"Jika 2022 umurku tak sampai untuk memenuhi panggilan berhaji, tolong badalkan seperti emak," lirihnya pelan.
Aku mendongak memanipulasi sesak. Belum lama kehilangan istri tercinta, tentu membuatnya limbung. 46 tahun bersama adalah tak mudah melepas yang terkasih pergi.
"InshaAllah Bapak akan sehat kala itu," ucapku mencoba riang bermaksud menguatkan.
Wajah itu tersenyum samar dengan mata berlinang.
Sontak hatiku berdentum kencang.
Aku tersenyum dalam getir. Tanpa diminta, aku tentu melakukannya sekalipun terseret dilema.
Dari kecil aku memang lebih dekat dengan bapak. Bapaklah tempatku bermanja-manja, bahkan meski sudah di bangku SMA aku masih kerap tidur dipuk-puk dan duduk di pangkuannya tanpa risih, sekalipun ia kerap mengomel. Aku pun selalu bersembunyi di balik punggungnya, tatkala emak siap dengan omelan panjang menganak sungai jika tak berkenan atas kelakuanku.
Memori itu begitu lekat, tentang kehangatan lengan seorang ayah tatkala putrinya tengah demam masih terasa. Dia lah yang bakal menyelimuti bahkan menggendong tubuh kecil ini berjalan menuju RS terdekat. Bapak sejak dulu tak bisa mengendarai kendaraan apapun kecuali sepeda. Sebab hatinya lembut dan sederhana.
Sekalipun begitu, cinta bapak tak penah berkurang. Walau tak terucap kasihnya selalu terwakilkan dengan perhatian dan tindakan nyata.
Suatu waktu, meski belum ikhlas dengan kepergianku tatkala menikah dan harus merantau mendampingi suami bertugas, tangannya yang mulai keriput tetap membantu mengepak barang. Kutangkap sudut matanya sempat berkaca-kaca ketika mobil angkutan sudah siap menyeberang ke ibukota.
Aku pernah meninggalkannya demi kehidupan baru dan bertahun-tahun kami terpisah jarak. Kerinduanku hanya terobati oleh benda tipis penyambung suara. Jangan minta ia untuk video call, karena bapak nggak akan ngerti.
Suatu ketika, suaranya berubah riang saat kubilang akan pulang dan bersedia melewatkan masa tuanya di rumah dimana aku dibesarkan. Sekalipun tak bisa ditutupi kekhawatirannya, keputusan itu menempatkanku pada posisi yang sulit, seperti berjudi dengan nasib. Rumah tangga anaknya sendiri menjadi taruhan.
Waktupun berjalan ... belum genap tiga tahun membersamai, emak pulang terlebih dulu. Padahal, yang sempat sakit parah berbulan-bulan justru bapak. Ironisnya lagi emak pernah bilang, "kalau bapak yang pergi duluan, emak akan ikut kamu." Ah ... Itu ternyata tak pernah terjadi. Begitulah Qodarullah, tidak ada yang tahu umur manusia. Sekalipun aku sendiri.
Aku tak berharap banyak cinta dari anak cucu kelak seperti halnya aku kepada bapak. Namun yang jelas saat ini, kasih bapak yang membuatku ingin melakukan banyak hal untuknya, sekalipun harus menahan sabar atas segala ujian.
"Jika 2022 umurku tak sampai untuk memenuhi panggilan berhaji, tolong badalkan seperti emak," lirihnya pelan.
Aku mendongak memanipulasi sesak. Belum lama kehilangan istri tercinta, tentu membuatnya limbung. 46 tahun bersama adalah tak mudah melepas yang terkasih pergi.
"InshaAllah Bapak akan sehat kala itu," ucapku mencoba riang bermaksud menguatkan.
Wajah itu tersenyum samar dengan mata berlinang.
Sontak hatiku berdentum kencang.
No comments: