Hikmah Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19
Apa kabar, Mak, setelah 14 hari berpuasa dalam suasana pandemi?
Berbeda dari ramadan sebelumnya, puasa kali ini harus dilewati umat muslim di seluruh dunia dalam suasana kecemasan. Wabah covid-19 yang merebak mulai akhir 2019 lalu secara langsung telah menyebar ke penjuru bumi, tak terkecuali Indonesia.
Bahkan, beberapa minggu terakhir beberapa kota di tanah air sudah melakukan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini menyebabkan sejumlah kota menutup celah mobilitas penduduk baik dari atau ke dalam kota, terkecuali untuk kebutuhan pangan dan logistik penduduk.
Bahkan, beberapa minggu terakhir beberapa kota di tanah air sudah melakukan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini menyebabkan sejumlah kota menutup celah mobilitas penduduk baik dari atau ke dalam kota, terkecuali untuk kebutuhan pangan dan logistik penduduk.
Tentunya meski banyak hal dibatasi, bukan berarti mengurangi nilai ibadah shaum itu sendiri ya. Toh, ramadhan termasuk rukun islam yang tetap harus ditegakkan sekalipun dalam suasana bencana atau musibah. Bahkan sejarah menorehkan banyak peperangan terjadi di zaman Rasulullah dalam bulan ramadan.
Sebut saja Perang Badar yang terjadi di tahun kedua hijriah. Peperangan yang terjadi antara kaum muslimin penegak agama Allah dan melawan kaum musrikin. Perang Tabuk yakni perang antara tentara muslim dengan pasukan Bizantium atau Romawi Timur di tahun kesembilan Hijriah dan dimenangkan oleh muslimin tepat di hari 26 Ramadan. Juga Perang Zallaqoh di bulan Ramadan 459 H dimana kaum muslimin yang dipimpin oleh Sultan Yusuf berhasil mengalahkan tentara Alfonso VI dan menguasai Spanyol.
Jadi, terbayang bagaimana beratnya umat terdahulu di mana mereka tetap harus beribadah, sekaligus menghadapi situasi peperangan besar kala itu. So, kalau hanya alasan pandemi sih, buat yang paham fiqih gak bakalan repot-repot minta MUI mengeluarkan fatwa boleh gak berpuasa, yang ada bakalan malu sendiri dibully netizen. Eh!
Di kota tempat saya tinggal, Bandar Lampung, sehari-hari jalanan sudah relatif sepi dan kegiatan sosial yang mengakibatkan kerumunan massa dikurangi, tak terkecuali kegiatan di tempat-tempat peribadahan umat. Ini tentu saja berdampak pada kegiatan ramadan yang jatuh tepat di akhir bulan April-Mei ini.
Pandemi menyebabkan tidak ada lagi salat jumat dan tarawih bersama di sejumlah masjid besar. Azan berkumandang hanya sebagai penanda masuk waktu salat. Dampak dilarangnya kerumuman massa, otomatis meniadakan acara buka puasa bersama yang seharusnya biasa digelar di masjid-masjid, kantor maupun restoran. Ditambah lagi larangan mudik menjelang lebaran resmi diumumkan beberapa hari lalu, seolah menjadi pelengkap suramnya ramadhan tahun ini.
Meski begitu, sebagai muslim kita tetap harus selalu berpikir positif, terus menggali celah syukur atas setiap musibah yang terjadi. Sebab, Qodo dan Qadar adalah mutlak kuasa Allah yang harus diyakini dan diterima dengan penuh keikhlasan.
Untuk saya pribadi, ramadan ini adalah momen ke tiga kalinya saya berpuasa tanpa suami di sisi. LDR menyebabkan kami harus terpisah jarak, di tambah ketidakpastian bisa tidaknya beliau pulang membuat saya harus bertahan dan fokus beribadah tak perduli apapun situasi di kota kelahiran. Yang penting saling bertukar kabar masih 'sehat-sehat saja', sudah cukup bersyukur pada Allah.
Setelah hampir separuh perjalanan puasa, saya justru menemukan banyak hal yang bisa diambil hikmahnya selama ramadan dalam suasana kecemasan akibat virus korona, di antaranya :
1. Semakin dekat dengan Buah Hati
Libur pandemi yang berkepanjangan membuat waktu berjalan seolah melambat. Ditambah anak-anak full di rumah berarti kesempatan bisa mengerjakan banyak hal bersama. Mulai dari belajar, beribadah hingga bermain bersama.
Momen ini merupakan kesempatan terbaik buat saya mempererat hubungan bertiga tanpa ayahnya di sisi. Biasanya kami melakukan shalat berjamaah bertiga, gambar bareng, ngobrol, juga berlomba-lomba dalam menyelesaikan bacaan quran.
Momen ini merupakan kesempatan terbaik buat saya mempererat hubungan bertiga tanpa ayahnya di sisi. Biasanya kami melakukan shalat berjamaah bertiga, gambar bareng, ngobrol, juga berlomba-lomba dalam menyelesaikan bacaan quran.
2. Si sulung belajar menjadi imam tarawih
Ketiadaan imam keluarga ditambah salat di rumah, otomatis membuat saya dan si sulung bergantian menjadi imam tarawih dan shalat malam. Kebetulan saya pakai mahzab imam syafi'i yang memperbolehkan anak-anak menjadi imam shalat. Kebetulan karena anak tertua sudah mukammal juz 30 beberapakali saya persilahkan ia memimpin salat tarawih demi pembelajaran dan mengamalkan bacaan yang telah dipelajari.
Rasanya tentu luar biasa diimami anak sendiri, dibandingkan jika sang ayah yang memimpin salat.
3. Makin banyak waktu beribadah di rumah
Waktu luang yang banyak akibat anjuran stay @home, berarti makin banyak kesempatan beribadah pula baik dengan memperbanyak salat sunnah, tilawah, zikir maupun sedekah tanpa harus keluar rumah.
Bagi emak-emak rumahan, ini sih syurga!
4. Peluang sedekah bergeser ke genggaman
Berbeda dengan ramadan sebelum-sebelum ini, sedekah umumnya dilakukan dengan cara termudah yakni memberi sejumlah uang pada sanak saudara yang kekurangan, fakir miskin, atau mengantar hidangan buka puasa/takjil di masjid atau mushola terdekat.
Sekalipun suasana berbeda, bukan berarti kesempatan sedekah tertutup rapat. Kita bisa menggunakan gadget di genggaman untuk meringankan beban sesama sekalipun mereka nun jauh di sana. Beberapa rekening badan amil zakat dan organisasi kemanusiaan bisa digunakan untuk menyalurkan bantuan di masa pandemi. Sebut saja ACT peduli, Dompet Dhuafa dan kitabisa.com
Kalau emak lebih sreg dan prefer transfer ke rekening lain yang lebih terpercaya dan terjangkau teman-teman terdekat yang lebih membutuhkan juga bisa, yang penting manfaatkan kesempatan menambah pundi-pundi amalan di bulan ramadan sebanyak mungkin.
5. Makin melatih diri untuk berhemat dan menahan nafsu
Gak banyak tempat menggelar bazar ramadan dan anjuran lock down, means banyak emak harus menyiapkan takjil dan hidangan buka puasa dengan cara memasak di rumah. Kalau dihitung-hitung secara anggaran ini tentu lebih hemat, dan yang pasti hidangan selain lebih sehat juga membuat ramadan makin seru karena tak jarang melibatkan si kecil memasak di dapur.
Bagaimana dengan belanja baju dan kue-kue lebaran? Buat saya pribadi suasana pandemi tentu membuat berpikir ulang untuk membeli kue atau baju baru sebab idul fitri kali ini tentu dijalani dalam suasana penuh keprihatinan. Mengingat begitu banyak saudara yang terkena PHK sebagai dampak pandemi, belum lagi THR suami belum nampak hilalnya ha ha ha....
Ditambah ada larangan mudik, maka sepertinya budget nyeberang kota Depok bisa disimpan untuk keperluan yang lebih penting. Aahh ... betapa Corona justru mengajarkan banyak hal, salah satunya menyederhanakan keinginan.
Ditambah ada larangan mudik, maka sepertinya budget nyeberang kota Depok bisa disimpan untuk keperluan yang lebih penting. Aahh ... betapa Corona justru mengajarkan banyak hal, salah satunya menyederhanakan keinginan.
Punya cerita yang berbeda, Mak? Monggo dibagi.
No comments: