Izrail
#Event_antologi_MCKPFI_season2
Desau angin menggelitik ranting-ranting pepohonan yang berbaris rapi di luar jendela. Sinyal dari mesin monitor jantung terdengar teratur sesuai tarikan napas dan aliran darah di nadiku. Entah sudah berapa malam aku terbaring di sini ditemani gesekan dedaunan dan decitan mesin yang seolah bernyanyi. Ada semburat awan kelabu yang membuncah di dada, namun begitu sulit kuungkapkan. Semacam penyesalan tak berujung yang kuyakini sekalipun dikeluarkan mungkin tak lagi berguna. Aku merasa sendirian, seolah tak memiliki siapapun di dunia ini.
“Bagaimana rasanya menyesal ...?” Sebuah suara mengalihkan perhatian dari keheningan. Sosok dengan mata tajam duduk mendekap lututnya di sudut ruangan tempatku dirawat. Suasana lampu yang temaram dengan tembok bernuansa lavender membuatku memiringkan kepala, mencoba memastikan.
Sosoknya asing dalam ingatan. Namun entah kenapa aku justru tak keberatan mulai berbincang dengannya. Setidaknya malam ini aku tak lagi sendiri.
“Mungkin, seperti ingin kembali tapi tak bisa, atau seperti ingin memperbaiki kesalahan namun terlambat,” jawabku tanpa membuka suara. Kata-kata itu seperti ada dalam pikiranku.
Kami berbincang dalam dimensi yang tak biasa.
“Kupikir selagi manusia bernapas berarti mereka masih punya waktu untuk melakukan sesuatu dengan semestinya,” ujarnya lirih sambil menatapku dengan lembut. Entahlah, wajah itu memang hangat, namun lagi-lagi aku disergap perasaan tak biasa.
“Katakan padaku bagaimana kau masuk tadi?” tanyaku penasaran.
“Bersama angin.” Sahutnya ringan.
Akupun terbatuk, hingga selang infusku pun ikut berguncang. Ada darah mengalir di sudut bibir kanan. Monitor jantung sempat tak stabil dibuatnya. Lelucon macam apa ini?
Dia beringsut dan mengambil tissue yang tergeletak di samping pembaringan, lalu mengusap wajahku dengan seksama.
Sentuhannya juga terasa begitu aneh, tidak termasuk lembut, namun juga tidak kasar. Hei! bentuk jari-jari tangannya juga tak biasa, entahlah mungkin jumlahnya bukan lima. Ada bongkahan aneh menyempul namun tertutup pakaian putih di punggungnya.
Aku tak mampu mereka-reka, kepalaku begitu berat untuk diajak berpikir. Yang ada di benakku hanyalah satu pertanyaan, siapa dia ?
“Aku sudah melakukan perjalanan panjang dan menemui bermilyar-milyar manusia, sosok sepertimu hampir setiap saat ada di belahan bumi ini.” Ucapnya datar tanpa ditanya.
Aku mencoba mencerna kalimatnya, Owh! mungkin dia hanya seorang traveler yang hanya singgah sesaat. “Memangnya aku seperti apa?”
“Orang yang keras kepala, egois, dengan ghorizah baqo yang kebablasan.”
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
”Naluri manusiawimu yang ingin diakui, dihormati dan egosentris terlalu berlebihan. Kamu kelewat banyak menuntut untuk di pahami. Padahal kamu sendiri tak pernah mengalah dan benar-benar mencintai sekelilingmu dengan tulus.” Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sejenak aku menyadari, kami memiliki mata yang mirip, tapi tetap saja aku merasa kami tidaklah sama.
Aku mencebik kesal. “Sok tahu, Kita ‘kan belum saling mengenal sebalumnya.”
“Aku ‘kan selalu mengamati, karena itu bagian dari tugasku,” tukasnya cepat dengan nada bangga.
Aku semakin penasaran. “Tapi, kenapa selama ini aku tak merasa?”
“Merasa diperhatikan maksudmu?! Lucu sekali! padahal dalam sehari aku bisa saja menatapmu puluhan kali,” jelasnya sambil kembali beringsut dan duduk di salah satu sudut ruangan.
“Ehm... segitu pentingnya ‘kah aku? hingga terus-terusan harus diawasi? Padahal aku sudah tak punya apa-apa lagi.” Cibirku sinis. “Kalau begitu, kamu bekerja untuk siapa? Apa Erna si pelacur sampah itu?!” Tiba-tiba wajah wanita yang memuakkan itu melintas di kepala. Wanita yang tak layak kusebut istri karena sudah lari dengan kekasih gelapnya, membawa dokumen penting perusahaan dan menyita seluruh aset kekayaan yang kumiliki. Dia istri mudaku.
Tawanya membahana seantero ruangan, bahunya berguncang keras. Sumpah. Aku sebal setengah mati.
“Aku bekerja pada seorang atasan yang kekuasaannya tak terbatas.” Sahutnya di ujung tawa.
Huh! Kepalaku terasa berat. Senang sekali orang ini bermain teka-teki!
“Pak Jodhy, maaf, waktunya makan malam, sore tadi bapak tertidur lama,” dari arah pintu seorang wanita petugas rumah sakit berseragam biru laut membawa sekantong cairan kecokelatan mendekat lalu menuangkannya di salah satu tabung di sebelah kantung infus yang terpasang. Kalau tak salah itu menghubungkan selang yang tertancap dari hidungku lalu memanjang ke lambung, nasogastric namanya.
Tak lama cairan itupun turun dengan cepat memenuhi lambung tanpa harus mengunyah. Aku hanya mengangguk sebagai isyarat pengganti ucapan terima kasih.
Wanita itu pun berlalu seperti tak menyadari kehadiran sesosok makhluk yang duduk di sudut ruangan.
Aku menghela nafas berat.“Siapa namamu?”
“Izra.” Jawabnya singkat.
Aku mengedipkan kedua mata. “Tugasmu sepertinya mudah dan menyenangkan, ya? Keliling dunia, bertemu banyak orang,” lanjutku lagi.
“Bisa Ya bisa jugaTidak ... karena kami diciptakan untuk saat satu perintah saja.”
“Hanya satu?! Ah! Kalau gitu monoton sekali jobdesk-mu. Bagiku itu sih menjemukan.”
Lagi-lagi ia menjawabku dengan senyuman lebar.“Memang, apalagi kami juga tak dibekali naluri sepertimu, kami tak punya keinginan, tak paham artinya sedih, kesal, amarah, dan perasaan manusiawi lainnya. Makanya sejak pertama kubertanya, bagaimana rasanya menyesal?”
Ah, aku jadi bingung sendiri. Banyak sekali pertanyaan mengendap di kepala. Sayangnya, rasa kantuk pelan-pelan menyergap tak menyisakan kekuatan lebih bahkan sekedar untuk menyangga kedua kelopak mataku.
***
“Tuliskan saja nama dan alamat mereka di sini, jika Pak Jo ingin bertemu.” Ucap Rita, mantan sekretaris pribadiku yang setia sambil menaruh selembar kertas dan pena di sisi pembaringan. Meski tak lagi menjadi bawahan, ia selalu rajin berkunjung ditemani suaminya selepas kerja.
Sebenarnya aku berhutang budi pada keduanya. Merekalah yang membawaku kemari setelah ditemukan tak sadarkan diri di rumah kontrakan yang kuhuni. Kata dokter aku mengidap kanker darah. Lucu, padahal kupikir penyakit leukemia hanya mengintai anak kecil dan kaum muda.
“Separah itukah penyakitku? bahkan dokter dan kamu pun mendesakku agar memberitahu keluarga,” desahku pelan.
“Tempat terbaik untuk Bapak adalah rumah dan berada di tengah orang-orang terkasih. Mungkin dengan begitu Pak Jo juga lebih semangat untuk sembuh.” Jawabnya dengan wajah sendu.
Ada rasa yang berdenyar-denyar di hatiku. Pilu. “Sayangnya, sudah lama aku menghancurkan rumah itu, Ta.”
***
Entah berapa lama aku tertidur lagi. Dengan susah payah kumembuka mata. Sebenarnya lebih nyaman terpejam dari pada melawan sinar mentari yang menyusup dari balik jendela.
Pantulannya yang menyilaukan seperti menusuk-nusuk syaraf mata.
“Pak Jo, ada yang ingin bertemu, apa mereka boleh masuk?” Suara lembut petugas paramedis ketika kesadaran penuh berhasil kuraih.
Aku berusaha menggerakkan kaki dan tangan. Namun sayang sekujur tubuh ini terasa kaku. Yang kubisa hanya memiringkan kepala, memicingkan mata mengurangi sinar yang masuk agar bayangan itu semakin jelas terbentuk.
Tiga wajah terlihat mendekat. Sosok gadis kecil yang lucu, wanita yang mirip istri tuaku ketika muda, dan Safitri itu sendiri... Istri yang masih terlihat ayu dengan garis-garis wajah yang sempurna meski dimakan usia. Mereka adalah keluarga yang puluhan tahun lalu kusia-siakan.
Bulir-bulir bening mengalir dari kedua sudut mata. Aku tergugu, ketika mulut ini begitu sulit untuk diajak bicara.
“Kenapa tak bilang sesuatu?” sosok Izra
sekonyong-konyong muncul lagi di sudut ruangan. Kali ini suaranya terdengar begitu berwibawa. Hei! Kali ini kulihat punggungnya bersayap. Tenyata benda itu yang kemarin menyembul di balik bajunya.
Aku menggerakkan mata mencoba mengekori sosoknya yang bergeser mendekat. Aku sempat takjub akan keindahannya. Tanganku mencengkram ujung sprei kuat-kuat. “Jangan mengejekku, dasar menyebalkan!” dengusku kesal dengan suara yang terdengar seperti tercekik oleh ketiga tamuku. Namun entah bagaimana selalu bisa diartikan olehnya.
Tawa itu begitu renyah. “Lanjutkan saja, aku masih menunggu.” Sahutnya santai sembari duduk di jendela. Aneh, sayap itu sama sekali tak mengganggu geraknya.
Pandangankupun beralih lagi. Izra benar, ketiga wajah terkasih ini lebih penting daripada sekedar basa-basi kosong. Banyak hal yang harus kuselesaikan.
“Ini Ismi dan cucumu, Aira,” bisik Safitri di telinga sambil mengambil jari-jariku dan memposisikan tangan ini di antara milik keduanya. Jemari kami tumpang tindih dan saling membelai perlahan. Ada kehangatan yang tiba-tiba menyeruak. Tetapi sayangnya, aku masih saja tergugu. Hanya mampu tersenyum lemah.
Semakin lama dalam situasi ini membuat dadaku terasa sesak seolah ingin meledak. Tangis itupun pecah, hingga bahuku terguncang hebat. Aku tak perduli lagi. Benteng keangkuhan yang kubangun puluhan tahun akhirnya hancur juga tersapu air mata. Tiga pasang tangan itu melingkari tubuhku dengan hangat. Kami bersimbah lara.
“Maaf ... maafkan, Bapak ....” Satu-satunya kata yang akhirnya bisa keluar dari lidahku yang kelu.
Aku berusaha terus bernapas dengan tenang, namun entah kenapa dadaku terasa kian tercekik. Monitor jantung yang terpasang di sisi tempat tidur tiba-tiba bergerak tak beraturan menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.
Aku melirik Izra yang masih duduk bersandar di antara kusen besar jendela berkaca . Tanganku melambai padanya seolah meminta pertolongan. Sayangnya sedikitpun ia tak beranjak dari sana dan memilih menatapku seolah menunggu sesuatu.
Entah kenapa, aku seperti tersadar akan sosoknya.
“Akhirnya ... saatmu tiba, Pak Jodhy Kesuma bin Abdurahman. Mari kita pergi.” Ucapnya datar sambil setengah melompat dari posisinya.
Ya, ya ... Aku tahu maksudnya. Baiklah, toh semuanya sudah dituntaskan. Kuharap tak ada lagi beban yang tertinggal.
Napasku semakin payah. Satu hentakan mengakhiri segalanya. Seketika sekelilingku berubah gelap.
Sayup-sayup aku mendengar jeritan pilu dari kejauhan. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Itu suara Safitri diiringi isak tangis Ismi dan cucuku. Semua terdengar begitu menyayat hati.
Aku sudah kembali.
Ke rumahku sebenarnya []
No comments: