Napak Tilas Masa Kecil (1) Si Penyakitan
Mencoba memberanikan diri ikutan posting dan cerita masa kecil bagi saya berarti menyiapkan sebuah ruang untuk dibully ha ha ...
Kecilnya saya tuh, kata emak mirip adik (si bungsu) sekarang, ya secara gesture body sampai karakter pun mirip. Saya itu aslinya dari kecil itu pendiam, serius dan gak begitu suka keramaian. Namun belakangan saya berhasil mengatasi kecanggungan berada di keramaian dan di depan publik akibat pengalaman dan terus berlatih ketika penah bekerja sebagai penyiar radio di tahun 2000an.
Saya kecil tak sekuat fisik adik Feera, saya kerap sakit-sakitan mulai dari sekedar flu, sakit gigi sampai mengidap penyakit yang tak biasa yakni gangguan syaraf otak. Bukan gila lho ya, tapi ada beberapa bagian urat-urat syaraf saya yang saling menempel ogah berjauhan. Tepatnya di syaraf pendengaran dan otak. Normalnya menurut spesialis syaraf, posisi beberapa urat syaraf yang menghubungkan organ-organ dalam tubuh manusia posisinya bersisian dan sejajar seperti rel kereta api, namun dalam bentuk sedikit bergelombang.
Berarti saya budeg dong? Enak aja, insyaAllah gak lah ya.
Gini, intinya urat syaraf manusia kerap bisa tegang atau bergeser posisinya. Kebetulan ketika saya kecil, kerap mengalami insiden yang menyebabkan bagian kepala terbentur keras. Mulai dari kejedot tembok, kerap kena bogem karena berkelahi dengan abang dan teman lelaki di sekolah--hehe sebab saya tomboi anaknya ... sampai nyium aspal karena kecelakaan ditabrak motor atau keserempet becak kala pergi bareng emak.
Nah akumulasi seringnya kepala terbentur itu mengakibatkan beberapa urat syaraf di kepala bergeser dan yang nyata terlihat dari hasil rontgen di kepala kala itu (EEG istilahnya). Kedua syaraf itu saling tumpang tindih. Thats why, saya dulu kerap terserang rasa pusing tiba-tiba apabila mendengar suara kencang atau dalam situasi crowded.
Terakhir dirawat agak lama di RS diisolasi mirip social distancing gak boleh ketemu atau dibesuk banyak orang akibat pingsan di sekolah kelas 3 SD. Kalau kebanyakan ngobrol dan mendengarkan suara berisik kepala saya menjadi berat dan berputar hebat.
Meski begitu selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Di sini titik awal kehidupan saya sedikit berubah.
Keseharian saya sebagai anak dididik dengan disiplin tinggi. Emak dan bapak itu tipikal ortu yang keras, apalagi bapak punya pola mendidk anak ala militer. Harap maklum sekalipun bukan tentara (staf sipilnya), bekerja di lingkungan TNI-AD membuat gaya hidupnya memang mirip orang-orang angkatan darat.
Belajar, mengerjakan tugas rumah harus teratur dengan disiplin sesuai jadwal yang ditetapkan. Bapak kerap mengayunkan rotan atau tali pinggang setiap kali saya malas belajar. Begitupun emak, sebagai guru SD beliau terkenal galak mendidik anak-anak di sekolah. Kalau bahasa gaulnya, sampai pensiun emak lebih diingat oleh murid-muridnya sebagai guru killer.
Meskipun begitu, banyak mantan muridnya yang mengakui loyalitasnya sebagai pendidik yang tak biasa a.k.a istimewa. Emak itu idealis, anti disogok, apalagi mata duitan sekalipun menjadi guru yang berstatus pegawai negeri. Emak saya sangat taat beribadah dan pandai mengelola waktu. Kebayang kan, kalau terhadap anak didiknya saja keras, apalagi saya di rumah?
Ketika penyakit mengharuskan diri bulak balik dirawat, ada rasa bersalah yang terselip di hati mereka. Apalagi ketika dokter menjelaskan, bahwa penyakit ini dipicu banyak hal ... Penyebab luar di antaranya mungkin akibat benturan keras di kepala, atau kekerasan verbal yang diterima. Akan tetapi dari dalam diri juga bisa. Kata Pak Dokter Sukamto, ahli syaraf yang menangani saya dulu, bisa jadi syaraf yang tegang juga diakibatkan rasa tertekan harus bisa ini dan itu, atau memang dalam diri saya sendiri selalu menuntut perfect, sehingga rentan stress sekalipun masih bocah.
Keluar dari RS, saya mendapat petuah panjang dari Pak dokter;
Sekilas sempat bingung, apa maksudnya? Maklum saja usia saya kala itu belum genap 8 tahun. Namun belakangan, saya harus berterimakasih pada beliau karena ucapan itu mengandung mantra yang begitu mujarab gak hanya untuk penyakit saja, tetapi juga mengarungi hidup ini.
"Hiduplah dengan perasaan senang, jangan tertekan. Tak mengapa tak harus menjadi yang terbaik di manapun, asalkan menjadi orang baik."
Sekilas sempat bingung, apa maksudnya? Maklum saja usia saya kala itu belum genap 8 tahun. Namun belakangan, saya harus berterimakasih pada beliau karena ucapan itu mengandung mantra yang begitu mujarab gak hanya untuk penyakit saja, tetapi juga mengarungi hidup ini.
Sejak dinyatakan sehat, saya janji gak mau terlalu keras dengan diri sendiri, emak-bapak pun mulai slow down gak menuntut banyak hal, juga mengingatkan saya agar sebisa mungkin meminimalisir kemungkinan benturan di bagian kepala. Pesan dokter sewaktu-waktu penyakit saya bisa kambuh, jika tidak bisa mengelola hati dengan baik.
Sempat lama gak disapa penyakit itu, sebab saya mulai berubah menjadi pribadi yang lebih santai dan enjoy the life walau tak kehilangan disiplin diri. Tetapi, ketika kuliah entah semester berapa, saya sempat kambuh sekalipun tidak sampai dirawat. Iklim kuliah di Pertanian yang keras, penuh bentakan saat momen Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) membuat saya terpaksa membuka "aib" dan rela digelari sebagai ayam sayur demi terbebas dari penggojlokan mahasiswa yang terkenal keras penuh bentakan di kampus. Ha ha ... alumni Pertanian Unila pasti tahu istilah itu. Thats OK, saya mah selow kalo ada yang ngejek "ayam sayur jadi macan".
Pengalaman buruk ketika sakit pula yang menyebabkan saya tergerak untuk lebih banyak melakukan aktivitas terkait hobi, sebab aktualisasi diri selain bikin lega karena merasa bermanfaat bagi orang lain juga berarti membuat diri "sibuk" agar gak banyak pikiran. Panjang angan-angan untuk saya pribadi itu berbahaya, bikin mudah tertekan dan kambuh sakit kepala.
Toh, ini juga sejalan dengan ajaran islam kan? kadangkala kita dilarang untuk berandai-andai, mengkhayal apalagi mencemaskan sesuatu yang belum terjadi. Nah, itu juga mungkin yang menyebabkan saya terkesan cuek, flat bahkan kurang ekpresif menyikapi setiap kejadian. Bagi sebagian orang mungkin bagus, tapi tak jarang satu dua teman mengkritisi saya sebagai wanita yang tidak "peka".
Toh, ini juga sejalan dengan ajaran islam kan? kadangkala kita dilarang untuk berandai-andai, mengkhayal apalagi mencemaskan sesuatu yang belum terjadi. Nah, itu juga mungkin yang menyebabkan saya terkesan cuek, flat bahkan kurang ekpresif menyikapi setiap kejadian. Bagi sebagian orang mungkin bagus, tapi tak jarang satu dua teman mengkritisi saya sebagai wanita yang tidak "peka".
Sekalipun bapak dan emak tetap keras dalam caranya mendidik, it didnt means saya menyimpan dendam terhadap mereka. They still my best parent, sebab andaikan mereka tak begitu, mungkin saya tidak akan menjadi pribadi yang sekarang. Saya sangat menghormati setiap keputusannya dalam mendidik kami, anak-anaknya sebagai otoritas penuh yang tak perlu dikritisi lagi.
Saya akan bercerita tentang hebatnya pengaruh bapak dan emak, dan kekompakan mereka dalam mendidik dan mendukung aktivitas saya, di next chapter.
Itu sekilas cerita saya semasa kecil ... hayuuk yang mau bertukar kisah monggo, daripada stress baca berita terkait corona terus.
Atau ngeledek penampakan saya semasa imoet, silahkan memang kolom komentar di bawah disediakan untuk itu.
😅😅😅
No comments: