Resolusi Tahun Baru, Perlukah?
Jujur saja, telah lama saya berhenti membuat resolusi diri tiap pergantian tahun. Hanya saja dulu alasannya lebih disebabkan karena banyaknya targetan hidup yang tidak tercapai. Bisa dibilang segala keinginan lebih bersifat duniawi. Yup, saya terlahir dengan doktrin orangtua yang setiap tahun kalau bisa menghasilkan sesuatu yang kasat mata/terlihat. For example, tahun sekian punya obsesi memiliki rumah, tahun berikutnya naik haji, kendaraan roda 4, bekerja di perusahaan bergengsi, dst. Intinya kemajuan hidup hanya dinilai dari sesuatu yang terukur.
Menjelang usia 30, banyak hal tak sesuai planning, mungkin karena saya tak cukup ilmu sehingga kerap lalai melibatkan Allah dalam setiap ikhtiar dan planning yang ditetapkan. Hasilnya, kecewa yang terus menumpuk. Sampai akhirnya memutuskan hidup lebih santai bagai air mengalir.
Apakah itu salah? Awalnya bingung sendiri.
Belakangan diam-diam kerap iri dengan para sahabat yang mampu membuat pencapaian nyata setiap tahun. Misalnya menelurkan buku, berbisnis, sukses berkarir di bidang masing-masing, atau siqoh dalam berdakwah. Wah, seperti tertampar, selama ini saya ngapain aja?
Akhir tahun sempat maju mundur, bertanya dalam diri. Perlukah kembali membuat resolusi seperti dulu?
Hati tergerak mencari tahu. Lagipula bukankah salah satu tanda kebaikan seorang muslim adalah ketika ia perduli dan mencari tahu hukum atas segala sesuatu yang hendak dikerjakannya? Ah, semoga saja ini juga menjadi salah satu tanda saya mulai 'sadar' beragama.
Jari mengetik di google, dalam wikipedia di tuliskan:
“Resolusi Tahun Baru adalah tradisi sekuler yang umumnya berlaku di Dunia Barat, tapi juga bisa ditemukan di seluruh dunia. Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada Hari Tahun Baru.”
Konon juga,
[1] Penduduk Babilonia kuno berjanji kepada para dewa yang mereka sembah setiap awal tahun bahwa mereka akan mengembalikan semua benda-benda yang telah mereka pinjam dan membayar utang mereka.
[2] Bangsa Romawi memulai awal tahun dengan berjanji kepada dewa Janus, yang namanya diabadikan menjadi nama bulan Januari.
[3] Pada Abad Pertengahan, para kesatria mengucapkan “sumpah merak” pada akhir musim Natal setiap tahunnya untuk menegaskan kembali komitmen mereka sebagai kesatria.”
Lagipula secara logika tahun baru yang sekarang kita jalani berasal dari penanggalan masehi. So fix, ini bukan budaya islam!
Tapi ... bukankah membuat resolusi itu kebiasaan bagus? Sebab islam sendiri menyukai segala sesuatu yang mengandung kebaikan, teratur, dan perencanaan matang untuk perubahan hidup yang lebih bermanfaat?
Dalam hal itu mungkin YA, namun masalahnya menggunakan momen khusus dalam rangka perubahan diri bahkan lebih berkaitan dengan peradaban masyarakat tertentu yang tidak islami dikhawatirkan menggiring pada tashabuh, atau perbuatan menyerupai kaum tersebut.
Bukankah Rasulullah dan para sahabat mengajarkan jika ingin berhijah dalam rangka kebaikan, bersegeralah tanpa menunggu momen spesial. Lihatkah ketika ayat tentang hijab turun, para sahabiyah langsung menurunkan tirai bahkan menggunting seprai untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Sebab matipun tak menunggu manusia insyaf terlebih dulu atau mentari berganti esok hari.
Duh lagi-lagi menarik napas panjang. Sungguh berat perjalanan diri menuju kebaikan. Bahkan untuk hal sekecil ini kita sebagai mukmin kerap latah, tak terkecuali saya.
Intinya boleh aja buat berazzam ingin perubahan yang lebih baik, But better just do it right now, gosah ngepas-pasin dengan hari spesial atau menunggu besok apalagi tahun depan berganti lagi 😍😍
Emang yakin juga besok masih napas?
#ntms
#NulisBareng
#SukabumiBerkarya
#DakwahUntukIslam
#day1
#taujihmega
No comments: