Lelaki Mungilku "Ilhamdi", Catatan Pengalaman Melahirkan Normal
Perlahan saya keluar menuju kamar membangunkan suami, dan memintanya mengantar ke klinik terdekat. Ia pun menyambar tas pakaian yang memang sudah sejak seminggu ini dipersiapkan sebagai perlengkapan bersalin.
Hari masih gelap. Tapi fajar sebentar lagi kan menyingsing.
Tak sampai 10 menit perjalanan, kami tiba di klinik dan langsung ditangani bidan senior yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Klinik lumayan bersih nan asri milik Bidan Soekamto yang beralamat di Jalan Masjid Al Jadid, Pasar Rebo, Cijantung, Jakarta Timur. Saat itu katanya saya sudah pembukaan tiga.
Mentari mulai muncul malu-malu, adzan subuh sudah sejak tadi berkumandang, namun si kecil belum juga menunjukkan tanda-tanda kuat akan keluar. Saya sempat rileksasi dan berjalan-jalan sebentar di sekitar klinik bersalin. Suami masih menunggui dengan wajah tak kalah cemas. Bu bidan sesekali mengontrol.
Tak lama rasa mulas mulai datang kembali. Saya sudah berbaring lagi di tempat tidur bersalin dan mulai menghitung jarak kedatangan gelombang yang melanda perut, 3 menit sekali, dua menit, sampai rasa itu tak berjeda dan benar-benar seperti ingin buang air besar -- bedanya bukan melalui anus melainkan organ kewanitaan.
Suasana mulai mencekam, yang saya ingat hanya bisa menggenggam tangan suami erat-erat sambil sesekali mengucapkan Asma Allah semampunya seiring dengan deru jantung yang memacu cepat. Dua bidan dibantu perawat berpengalaman mulai menyemangati. Suami gak berani ngomong apapun, meski tatap matanya menyiratkan banyak hal, mungkin dia speechless atau nahan sakit akibat cengkraman kuat tangan saya hehehe...
Panas di pinggang menyerang bersamaan dengan rasa mulas yang melanda ... Saya mencoba fokus dan mengatur nafas. Sempat ada hal ganjil yang terjadi dan sampai saat ini belum saya temukan jawaban pastinya. Beberapa detik saya seperti berhalusisasi. Sosok Babe (ayah saya) sempat berkelebat di pelupuk mata. Padahal saat itu beliau sedang di Lampung dan tak bisa datang ke ibukota mendampingi proses bersalin. Saya memejamkan mata. Tak ada waktu untuk berpikir -- walau belakangan saya menyimpulkan sendiri, mungkin itu hanyalah bentuk ikatan hati antara saya dan Bapak. Sejak orok, saya memang lebih dekat dengannya ketimbang emak--. Entah sudah tarikan yang ke berapa akhirnya dengan setengah menjerit, si sulung mungil itupun lahir ke dunia dengan berat tepat 3,00 kg panjang 50cm.
Rasa sakitnya tidak bisa dilukiskan namun tertutupi oleh lega dan bahagia. Pernah baca bahwa wanita melahirkan itu ibarat mematahkan 20 tulang sekaligus dalam waktu bersamaan atau secara medis rasa sakit yang harus di tanggung wanita sebesar 57 Dels, padahal rasa sakit yang mampu di tanggung manusia normal umumnya hanya berkisar 45 Dels. Sungguh luar biasa perjuangan seorang wanita, tidak terkecuali saya.
Terbayar sudah perjuangan berdiri-jongkok-berdiri, mondar-mandir nenteng serokan kaleng hampir tiap sore buat bersihin saluran got sekitar kontrakan hitung-hitung olahraga prenatal (dulu masih ngontrak di sekitaran Kalisari, Pasar Rebo) demi kelahiran normal.
Saya melirik jam di dinding hampir setengah sembilan pagi, MasyaAllah... Allahu Akbar, tak henti-hentinya saya mengucap syukur atas segala kemudahan yang Ia beri dalam proses persalinan ini.
Betapa saya ingat cerita teman yang sampai menginap beberapa hari akibat proses pembukaan yang stag, atau tersiksanya seorang ibu kala pembukaan lengkap namun bayi tak juga keluar. Bahkan ini dialami emak saya sendiri. Beliau pernah bercerita sampai semalaman harus berganti-ganti posisi nungging, terlentang, miring, sewaktu akan melahirkan abang saya. Tak terperi lelahnya ia bahkan sampai rela kehabisan banyak darah. Atas kemurahan Allah, itu semua tidak terjadi pada saya, bukankah ini sebuah nikmat luar biasa yang patut disyukuri? apalagi mengingat momen ini adalah kelahiran anak pertama.
Bayi mungil itu masih ditengkurapkan di atas perut. Bidanpun tersenyum sambil memuji, "ibu hebat kita hanya perlu dua jahitan."
Saya tertegun, begitukah? Kalau gini sih saya gak akan kapok punya anak lagi. Tapi sayangnya kata-kata ini tak sampai hati saya ucapkan. Apalagi di depan suami ... bisa ke GeEran dia! 😂😂
Tidak ada kebahagiaan paripurna sebagai seorang perempuan ketika mampu melalui proses persalinan dengan tegar... tentu saja karena ia telah menyempurnakan salah satu tugasnya sebagai seorang ibu.
Akan tetapi, euforia cepat berlalu, babak baru kehidupan dengan sejuta suka dan duka menanti di depan ...
Barakallahu fii umriik anak lanang soleh kesayangan 😘😘😘
No comments: