Tiada Beda
Diikutsertakan dalam event
#Antologi_moralcode_KPFI
***************************
Adakah yang lebih berharga dari membentuk keluarga harmonis? Rumah tangga lengkap dengan perhatian dan kasih sayang penuh kedua orang tua sesuai perannya.
Lintang menatap lembut pipi putih bulat berbibir mungil dengan mata terpejam dalam dekapan hangatnya. Seraut wajah lucu tak berdosa yang belum genap dua bulan. Ada pendar-pendar keharuan yang menyusup dalam relung kalbu. Kebahagian wanita yang telah genap fitrahnya sebagai ibu, sisanya sebersit kekhawatiran akan ketidakmampuan diri mendampingi tumbuh kembang buah hati dengan sempurna. Ya, bagaimana bisa menjalankan dua peran paripurna tanpa melupakan tugas yang lain, sebagai ibu sekaligus karyawan perusahaan?
Sentuhan ringan di bahu Lintang membuyarkan lamunan. "Kenapa Raya belum dipindahkan ke kasur, Lin? Memangnya gak lelah menggendong terus?" tegur halus Alif, sang suami seraya menghirup dan mengecup lembut ubun-ubun bayi yang konon menguarkan jejak aroma syurga.
Perlahan diletakkan putri kecilnya di atas peraduan. Tatap matanya masih belum beralih dari sosok mungkin yang terlelap, "Mas, besok hari pertamaku kerja usai cuti melahirkan, sepertinya aku mau resign saja agar lebih fokus menjaga Rayya."
Ada kelegaan yang menyelinap dalam embusan napas pria itu. Memang inilah yang Alif inginkan sejak lama, bukankah nafkah utama keluarga ada di tangan suami? Namun untuk terang-terangan meminta istrinya berhenti kerja, tentu akan berbuntut konsekuensi yang membutuhkan mental baja. Alif tidak ingin ada unsur keterpaksaan dalam diri Lintang meski di posisi suami ia berhak melakukannya. "Jika kamu siap dengan segala resikonya, aku pasti mendukung. Yang jelas, ini tidak akan mudah Lin, apalagi untuk anak yang dibesarkan dari keluarga yang kental mewarisi budaya feodal ... mendewakan seragam kerja."
Lintang paham itu sebab masalah ini kerap mereka bicarakan menjelang tidur. Namun, tekadnya kali ini sudah bulat. Pengasuhan putrinya adalah tanggung jawab utamanya sebagai ibu.
***
Hampir lima tahun Lintang berkutat dalam kesibukan ibu rumah tangga sejati. Segala suka maupun duka layaknya wanita yang bergeser haluan sudah kenyang diterima Lintang. Awalnya memang sulit meyakinkan keluarga dan banyak pihak, bahwa menjadi ratu rumah tangga adalah karier tertinggi seorang perempuan. Bahwa seragam juga bukan penentu utama harga diri manusia, bahwa ijazah sarjana hanyalah sebuah bukti seseorang pernah mengenyam pendidikan tinggi bukan penentu kesuksesan hidup.
Sisi baiknya, keputusannya mengundurkan diri dari pekerjaan justru membuahkan rezeki yang tak terduga dari tangan sang suami. Secara teori memang tidak masuk akal, satu sumber keuangan tertutup seharusnya rumah tangga berjalan pincang. Namun, tidak dengan kalkulasi Allah, rezeki bukan semata bermakna banyak ataupun sedikit, melainkan keberkahan di dalamnya. Ketika ridho suami telah didapat, maka semesta pun tak mampu berkhianat dalam titah penguasa tertinggi. Segala jalan terbuka dari arah tak disangka-sangka.
Meski demikian, hidup tetaplah berjalan penuh dinamika.
***
"Mas, aku mulai bosan ... sejak Rayya bersekolah, aku merasa banyak waktu yang terbuang sia-sia." Keluh Lintang suatu ketika kepada sang suami.
Pria 30-an tahun itu menatap lekat istri tercinta seolah memastikan keseriusan hatinya. Raut penat itu seolah mewakili cerita akan rutinitas yang terasa membosankan. Sepertinya sudah saatnya Lintang memiliki kesibukan yang bermanfaat sebagai pengisi waktu luang. "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"
"Sediakan aku komputer pribadi. InsyaAllah aku mau kembali menulis seperti semasa kuliah. Mungkin kesibukan itu akan membantuku lebih bersemangat menghadapi hidup dan terus berkarya tanpa meninggalkan tugas utama sebagai ibu."
Sang suami pun tersenyum bijak sambil menyelipkan sebagian anak rambut ke belakang telinga istrinya.
Benaknya berbisik lirih, sudah saatnya mengembalikan sesuatu yang mungkin terenggut dari wanita yang dicintainya itu. Kebebasan mengekspresikan diri.
"Baiklah, besok akan Mas belikan."
***
Kilatan lampu blitz beberapa kamera sesekali menyilaukan mata gadis kecil yang duduk sendirian di sudut kafe cantik bergaya vintage. Dari kejauhan ia mengamati gerak-gerik sang ibu yang tengah menjadi pusat perhatian pengunjung dengan wajah kesal.
Rayya muak dengan rona kekaguman yang terpancar dari mata orang-orang yang mengitari ibunda sambil meminta tanda tangan dari masing-masing buku yang mereka pegang. Siapa yang tidak kenal Clarissa Lintang? Penulis novel ternama yang buku-bukunya selalu best seller di tanah air?
Ini bukan acara perdana, tetapi entah untuk keberapa kalinya di gelar di sepanjang tahun di kota berbeda. Ironis, Rayya tidak merasakan hal yang sama seperti mereka selalu memandang takjub pada sang bunda. Seorang ibu rumah tangga sejati, sekaligus penulis hebat, sungguh role model wanita masa kini yang mengagumkan. Tapi, di mana letak hebatnya? karena diam-diam di setiap kesibukan sang Bunda, Rayya justru merasa kehilangan.
***
"Bunda, Rayya lapar ... mau makan nasi goreng," ratap gadis kecil itu penuh harap memandang sang ibu yang jari-jarinya masih menari lincah di atas deretan tuts komputer berlayar 14 inci. Ah ... andai jemari itu kembali seperti dulu, lebih banyak digunakan untuk membuka halaman buku dongeng kesukaannya, atau sekedar membelai lembut pungungnya hingga jatuh terlelap.
Lintang beranjak dari depan laptopnya dengan malas seraya menurunkan bumbu nasi goreng instan dari deretan rak di dapur.
Tak sampai 10 menit, nasi goreng sudah disodorkan.
Bocah itupun menyantap makanannya sambil sesekali melirik punggung sang ibu yang telah kembali sibuk mengejar deadline novel dari sebuah publisher ternama.
"Bunda ...," ucapnya lagi memecah kesunyian.
"Sttt ... kamu membuyarkan semua kata-kata yang mau bunda tulis tadi ... sudah, jangan bawel lagi, habiskan makananmu!" hardik Lintang bernada gusar dengan tatapan mata yang tidak teralihkan dari monitor yang menyala.
Sepasang mata bulat itu meredup kecewa, disingkirkannya nasi goreng yang baru tandas sebagian. Selera makannya seketika lenyap. Tangannya kemudian beralih pada puluhan komik yang berserakan di lantai. Rayya bergumam seraya menarik napas pelan, kesemuanya terasa membosankan karena sudah dibaca berkali-kali, bahkan diantaranya Rayya hafal luar kepala.
Ia meraih satu komik dan membuka halaman sekenanya. "Konsisten itu apa, Bun?" tanyanya lagi sambil selintas melirik seolah menunggu reaksi ibunya. Sayangnya, upaya merebut perhatian itu tak jua membuahkan hasil.
"Coba ketik di kolom searching google. Bunda sibuk tolong jangan di ganggu dulu. Keep reading after that, honey ..." tukas Lintang cepat.
Netra gadis kecil itu berubah nyalang. Ia melangkah cepat merebut laptop di hadapan sang ibu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan menghempaskannya ke lantai dalam sekejap.
Sang bunda terhenyak mundur tak percaya. "RAYYAAA ...KAMU INI KENAPA, NAK?!" Jeritnya bercampur kemarahan mengguncang keras kedua bahu putrinya. Kepanikan melanda mengingat sejumlah draft novel yang belum selesai dikerjakan sementara benda tipis itu sudah hancur berantakan.
Ada aliran air yang jatuh membasahi kedua pipi bocah itu. Bahu mungilnya bergetar menahan tangis yang hampir meledak. Dengan nafas tersengal ia mengangkat wajah yang berlinang airmata, " Ray-ya sedang menyingkirkan, sesuatu ... yang merebut cinta Bunda ... sejak pertamakali kedatangannya di rumah ini."
***
Ya, naluri anak yang halus kerap mampu mendeteksi apa yang kerap tak terjangkau mata hati orang dewasa.
Kadangkala orang tua merasa telah melakukan segala sesuatu yang menjadi tugasnya. Padahal, di mata buah hatinya apa bedanya ibu yang selalu ada namun tiada, dengan wanita karier yang berjibaku di luar sana? []
No comments: