Andai Dosa Berbau
Gelap yang lindap masih
memeluk penghujung malam. Suara kokok ayam jantan belum juga memecah kesunyian.
Hanya selingan bunyi jangkrik yang kerap bernyanyi minor tanpa saingan.
Zaldi melirik ke kiri dan ke
kanan seolah memastikan tidak ada yang melihat sosoknya masuk menuntun motor ke
sebuah rumah mungil bepekarangan luas. Andai saja orang tahu detak jantungnya
yang memburu, tentu mereka akan menutup telinga rapat-rapat. Ia mengusap
keringat yang berleleran di sela-sela kedua pipi dan telinga. Aneh, udara
dingin dini hari justru tak mencegah keringatnya berhenti bercucuran. Perlahan
pemuda itu memutari rumah menuju halaman belakang dan hilang di balik rimbunnya
pepohonan.
"Cepat, sembunyikan
dulu motor ini .. nanti kalau keadaan sudah aman bisa dijual dan hasilnya kita bagi
sesuai perjanjian," bisiknya perlahan.
Pria berkulit hitam
berperawakan kurus dengan rambut ikal itu hanya mengangguk tanpa suara.
Diusapnya motor yang masih terlihat mengkilap itu dengan mata berbinar.
Dengan tergesa Zaldi
berbalik keluar, lalu bayangannya lenyap di balik kegelapan.
***
Fajar menyingsing seiring
seruan shalat yang terdengar saling bersahut-sahutan. Panggilan Allah
menggerakkan para muhajid melangkahkan kaki menembus sisa-sisa dinginnya malam
demi dua rakaat pembuka hari.
Masih setengah mengantuk
Zaldi mengikuti shalat berjamaah sekaligus ceramah seusai subuh di masjid
yayasan sebuah pesantren tempat ia bekerja. Baru dua bulan ia bertugas sebagai
penjaga kebersihan sekitar masjid dan rumah Pak Kyai pemilik pondok. Baginya
ini hanya pekerjaan sementara, setelah uangnya banyak terkumpul, ia ingin
secepatnya kembali ke desa, membelikan ibunya sepetak tanah dan mulai bertani
seperti almarhum ayahnya dulu. Setidaknya bagi Zaldi sekembalinya nanti,
kehadirannya harus dapat memperbaiki ekonomi keluarga yang selama ini bertahan
hidup dari pekerjaan ibunya sebagai buruh tani.
Dulu, Zaldi pikir merantau
di kota besar itu menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ternyata, impian itu
hanya tinggal angan-angan. Hampir setahun hidup dalam perantauan, pemuda yang
hanya tamat SMP tanpa keahlian khusus itupun hidup luntang-lantung di belantara
Ibukota. Makan sehari-hari didapat dari upah kerja serabutan. Entah berapa
ratus malam pula ia habiskan dengan tidur beralas koran beratapkan langit.
Hingga takdir menuntun langkahnya sampai ke pondok Pak kyai.
Meski kerap mencuri, Zaldi
selalu menunaikan shalat lima waktu. Bukan, bukan sebagai bentuk ketaatannya
sebagai muslimin, namun hanya sekedar kamuflase agar khalayak menilainya
sebagai pemuda yang sholeh. Andai masyarakat tahu kebenarannya, sudah sejak
dulu Zaldi terusir dari pondok sang kyai.
Dengan wajah
terkantuk-kantuk Zaldi mendengarkan tausiyah bijak dari pria berwajah teduh
dengan sorban putih yang melilit kepalanya. "Sungguh, jikalau dosa itu
berbau alangkah busuknya udara dunia ini, karena pastinya semua manusia menebar
aroma tak sedap tak terkecuali saya," ucap sang kyai.
Zaldi yang masih mencoba
mendengarkan isi ceramah tiba-tiba terkekeh geli hingga terbatuk di balik pilar
tempatnya bersandar. Beberapa jemaah sempat menoleh memandangnya. Namun wajah
itu hanya menyeringai tanpa dosa.
Pak kyai melempar senyumnya
yang arif, lalu kembali melanjutkan. "Itu hanya sebuah perandaian, betapa
Allah bersifat Ar Rahman Ar Rahiim, pengasih lagi penyayang. Andaikan Allah
secara terang-terangan membeda-bedakan kualitas makhluknya di dunia berdasarkan
dosa dan amalan, lalu semua itu diperlihatkan dengan bau yang menyengat,
mungkin saya sekalipun tidak akan layak duduk di sini memberi tausiyah, karena
begitu banyak dosa yang terendus oleh hidung kalian. Begitulah Allah atas
kemurahanNya menutup tiap-tiap aib manusia."
Beberapa jemaah mengangguk
faham.
***
Matahari mulai muncul
malu-malu di ufuk timur cakrawala. Ceramah pak Kyai sudah sejak tadi usai.
Zaldi mulai menyiapkan peralatan sesuai tugasnya, memelihara kebersihan masjid
sekaligus kediaman pak kyai. Dikeluarkannya lap pel, sapu lidi dan pengki dari
gudang masjid.
Apa kata Pak Kyai diceramah
tadi? Andai dosa berbau? Lucu, ada-ada saja Pak Kyai itu... Zaldi senyum-senyum
sendiri. Tanpa sadar ia mengangkat sebelah lengan dan mendekatkan kepalanya
mencoba mengendus tubuhnya sendiri. Seolah memastikan. Lalu berganti lengan
sebelahnya, dan kepalanya pun menoleh kearah tangan yang terangkat lalu
manghirup aromanya. 'Tak berbau,' begitu batinnya bersuara.
Zaldi mulai menggerakkan
sapu lidi, membersihkan halaman masjid yang dipenuhi oleh sampah dedaunan
kering. Sesekali ia tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
"Kejaaarrr! Cari sampai
ketemu maling brengsek itu!" Teriak seseorang dari beberapa pemuda yang
mengejar Zaldi dengan mengacungkan kayu dan senjata tajam.
Zaldi terus berlari sambil
mendekap kontak infak dari sebuah masjid perumahan tak jauh dari pesantren Pak
kyai. Ia berlari terengah-engah memasuki kawasan perkuburan, lalu mencoba
menunduk dan bersembunyi di balik nisan.
"Mana? Mana dia?!"
Salah seorang pengejar berwajah merah padam dengan mata yang terus berputar
menyisir perkuburan sambil mengayunkan kayu sepanjang satu meter sebesar lengan
orang dewasa.
'Ah, andai badan ini bisa
mengkerut dan mengecil.' Dengus Zaldi kesal di balik persembunyiannya.
"Kayaknya tadi masuk
sini, Bang." Sahut pengejar yang lain.
"Cepat berpencar,
periksa daerah ini dengan teliti!"
Zaldi beringsut pelan-pelan
dari persembunyiannya, beruntung perkuburan itu lumayan luas. Pekatnya malam
tiada bulan juga sangat menguntungkan posisinya. Zaldi yakin masih ada peluang
untuk lolos. Sambil mengendap-endap ia berpindah dari satu nisan ke nisan yang
lain, kadang tubuhnya bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Ketika beberapa
pengejar lengah, Zaldi pun menyelinap keluar dan kembali berlari dengan kencang
tanpa menoleh kebelakang.
Senyum kemenangan pun
menghiasi wajahnya.
***
Rumah Sang Kyai kedatangan
para pemuda dari komplek perumahan sebelah, dan Pak Kyai telah memanggil Zaldi
agar duduk bersama menghadapi tetamunya.
"Saya yakin, orang ini
pencurinya Pak Kyai." Tuding seorang pemuda yang Zaldi ingat sebagai salah
satu pengejarnya semalam. Dadanya berdentum kencang. Wajah pucat seperti kapas
disembunyikannya dalam-dalam melalui tatapan menembus lantai ruang tamu Pak
Kyai.
Dalam hati ia menggerutu.
'Sialan. Bagaimana mungkin si gendut ini mengenaliku? bukankah semalam sebagian
wajah kututupi dengan sapu tangan?'
"Mohon tenang bapak-bapak...jangan
asal menuduh, maaf sebelumnya, dari mana anda yakin kalau Zaldi pelakunya,
adakah bukti yang bisa kalian tunjukkan?" Ujar Pak Kyai dalam ketenangan
bak seorang ayah yang melindungi putranya.
Zaldi mencoba melirik dengan
sudut matanya. Para pria itu terlihat saling tatap. "Dari perawakan dan
gerak-gerik yang terekam dalam CCTV masjid pak, ini silahkan Pak Kyai
lihat." Ujar seorang pengadu sambil menyodorkan hasil rekaman video yang
sudah disimpan dalam sebuah handphone. Sejenak Pak Kyai mengamati dengan
seksama.
Keringat dingin mulai
meluncur di balik keningnya yang menghitam. Nafas tertahan dari dada yang
berdetak kuat seolah saling berkejaran makin menambah ketakutan...Zaldi sudah
pasrah, ia tak bisa lari lagi jika CCTV itu jelas memperlihatkan wajahnya.
Pak Kyai menggelengkan
kepala sambil berkata dengan tegasnya."Dalam video ini wajah pelaku
tertutup sapu tangan, dan tidak ada sisi yang jelas menunjukkan bahwa dialah
orangnya. Kalau gestur saja memang mirip. Tapi ini tidak mutlak membuktikan
kalau Zald pencurinya."
Zaldi diam-diam bernafas
lega.
Para pelapor saling berbisik
dengan tatapan tajam menghakimi. Zaldi mulai memberanikan diri bertukar tatap
dengan wajah setengah mengejek.
"Percayalah, bukti
kalian tidak cukup kuat. Sebagai pengelola pondok Zaldi selama di sini tidak
pernah melakukan perbuatan yang merugikan. Lagipula yang saya kenal, ia adalah
pemuda shalih dan ahli ibadah." Tambah Pak Kyai meyakinkan.
Para pemuda pelapor itupun
tertunduk lesu lalu meminta diri dengan tangan hampa.
Senyum lega Zaldi
tersungging dari sudut bibirnya yang tebal.
Belum sempat para pemuda itu
keluar dari pintu rumah Pak Kyai. Tiba-tiba Zaldi mengerang keras lalu terjatuh
tak sadarkan diri sambil memegang sebelah dadanya. Pak Kyai dan para pemuda
dengan sigap mengangkat tubuh itu dan membaringkannya ke sofa panjang ruang
tamu.
"Tolong, panggilkan
Dokter Amran!" Teriak Pak Kyai, sesaat setelah memeriksa nadi di leher dan
bawah telapak tangan kiri Zaldi. Pak Kyai tak berani memastikan sendiri.
Seorang pemuda berlari
keluar.
Selang beberapa menit, pria
tadi kembali dengan dokter Amran, salah seorang warga di sekitar pesantren yang
memang berprofesi sebagai dokter umum. Keheningan menyergap dalam tatap yang
saling bertukar kecemasan.
"Maaf, Pak
Kyai...nyawanya sudah tak tertolong, kemungkinan dia terkena serangan
jantung." Desis Dokter Amran sambil merapikan stateskop ke dalam tas yang
di bawanya.
"Innalillahi wa inna
ilaihirojiun...."
Pak Kyai mengusap wajah
Zaldi pelan.
Salah satu pemuda memandang
pak Kyai dengan tatapan bersalah. Lagi-lagi senyum teduhnya terukir sambil
menepuk lembut punggung laki-laki itu.
"Ini sudah menjadi
takdir Allah."
***
Para pelayat mulai
berdatangan untuk mengungkapkan bela sungkawa. Sebagian ikhwan masih menunggu
komando Pak kyai untuk memulai prosesi pemandian jenazah Zaldi.
Entah dari mana asalnya
tiba-tiba bau busuk mulai menyengat. Para pelayat mulai kasak-kusuk tak tenang.
"Maaf pak Dokter,
apakah jenasah penderita jantung biasanya mengeluarkan bau tak sedap?"
Bisik Pak Kyai.
Dokter Amran menjawab sambil
menggelengkan kepala,"sama saja dengan orang yang meninggal dalam keadaan
sehat Pak Kyai, biasanya jika belum sampai menginap berhari-hari, jenazah tidak
akan mengeluarkan bau tak sedap."
Kening Pak Kyai berkerut
seperti tengah berpikir keras.
Satu persatu pelayat pamit
dan memilih menyingkir.
Bau itu menguar semakin
kuat. []
*Salah satu cerpen di buku ADB
No comments: